Hidayatullah.com– Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang diusulkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), menuai pro dan kontra.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menanggapi dinamika tersebut dengan mengadakan Seminar dan Focus Group Discussion tentang RUU P-KS di Yogyakarta, Ahad (10/03/2019). Dalam acara ini, dijaring masukan mengenai materi RUU P-KS, khususnya dari sudut pandang hukum Islam. Majelis Tarjih (bersama Majelis Hukum dan HAM) akan menyampaikan hasil dari FGD tersebut kepada Komisi VIII DPR RI.
Dalam seminar tersebut terjadi perdebatan, perbedaan pendapat dan pandangan dari berbagai pembicara mengenai RUU P-KS. Sebagian pemateri mengganggap RUU P-KS perlu segera disahkan menjadi Undang-Undang, sedangkan sejumlah pemateri lainnya menolak dengan tegas keberadaan RUU yang diketahui memang kontroversial tersebut.
Dilansir Suaramuhammadiyah.id, Senin (11/03/2019), perumusan dan penyusunan Naskah Akademik RUU P-KS telah dimulai sejak tahun 2014 hingga tahun 2016. Naskah Akademik RUU P-KS yang dipublikasikan sebagai draf Per 20 November 2015 selanjutnya menjadi dasar dalam proses penyempurnaan dan penyusunan Naskah Akademik RUU P-KS sampai dengan Agustus 2016 yang dilaksanakan atas dasar kerja sama kelembagaan antara Komnas Perempuan dan Dewan Perwakilan Daerah RI, dan kerja sama Komnas Perempuan dengan Forum Pengada Layanan.
Dinamika dalam menemukenali embrio substansi pengaturan RUU P-KS di Komnas Perempuan dimulai sejak tahun 2010. Kajian yang dilakukan dengan mencermati kasus kekerasan seksual yang terdokumentasi dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2001-2010 mencatat adanya 15 jenis kekerasan seksual (yang berkembang dari semula 10 jenis, 11 jenis dan 14 jenis kekerasan seksual).
Pada akhirnya, terumuskan 9 jenis kekerasan seksual yang dimasukkan dalam Pasal 11 P-KS. Menurut perwakilan Komnas Perempuan, Imam Nakhai, keseluruhan jenis kekerasan seksual tersebut tidak mengada-ada, tapi berangkat dari kasus per kasus yang terjadi di lapangan.
Katanya RUU P-KS berusaha memberi kepastian hukum terhadap banyaknya kasus kekerasan seksual. “Data Komnas Perempuan, dari 1.400 laporan kasus kekerasan seksual, hanya 10-20 persen yang bisa diajukan ke pengadilan,” kata Imam.
Baca: MTT Muhammadiyah Tak Sepenuhnya Menerima dan Menolak RUU P-KS
Sementara menurut Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Hamim Ilyas, data jumlah kasus ini ibarat fenomena gunung es. Kasus yang tidak terungkap bisa lebih banyak. Oleh karena itu, Hamim menganggap bahwa RUU P-KS ini perlu segera disahkan dengan beberapa penyempurnaan.
“Kalau tidak disahkan, kita dzalim terhadap para korban (yang tidak bisa memperoleh keadilan),” tuturnya. Menurut anggota Majelis Tarjih, Alimatul Qibtiyah, RUU P-KS perlu terus dikawal supaya segera masuk prolegnas.
Sedangkan perwakilan PP Aisyiyah, Siti Aisyah, dan Norma Sari berharap Muhammadiyah bisa memberi konstribusi gagasan terhadap RUU ini.
Imam Nakhai menyebut, Naskah Akademik RUU P-KS selain menekankan pada aspek penegakan hukum, juga mengenai pada aspek pemulihan korban. Pelaku harus ikut bertanggung jawab dalam aspek pemulihan, antara lain dengan membayar restitusi. Hal ini menurutnya sesuai semangat al-Qur’an yang dalam beberapa ayat menyebut kata “man thaba wa ashlaha”. Imam menganggap bahwa ayat ini menghendaki supaya korban dikembalikan ke kondisi semula, sebelum mengalami kekerasan seksual. “Tidak hanya itu, namun juga ashlaha, yaitu diperbaiki,” ulasnya. Hal ini karena (penyintas) kekerasan seksual memiliki efek (fisik dan psikis) jangka panjang, yang berbeda dengan kasus pidana lainnya.
Disebutkan bahwa RUU ini merujuk pembelajaran dari UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan UU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beserta praktek implementasinya. Regulasi ini diharapkan berdampak pada perubahan cara pandang, pola pikir dan perilaku negara dan masyarakat terhadap kekerasan seksual sebagai tindak kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; pencegahan kekerasan seksual harus dimulai dari penelusuran akar masalah kekerasan seksual; perubahan konstruksi hukum yang menempatkan pengalaman korban sebagai basis mengenali jenis kekerasan seksual; perubahan sistem hukum khususnya Hukum Acara termasuk pembuktian yang memberikan kemudahan bagi perempuan dan anak korban mendapatkan akses keadilan.
Baca: 4 Catatan Kritis PKS soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
‘RUU P-KS Harus Ditolak’
Sementara itu pandangan kontra terhadap RUU P-KS disampaikan oleh Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo. Ia menyatakan bahwa RUU P-KS masih bermasalah dalam aspek penegakan hukum.
“Hukum acaranya perlu diperbaiki,” ujarnya.
Lebih tegas lagi, Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia, Prof Mudzakir melihat bahwa RUU P-KS menyalahi sistem hukum nasional.
Ia menilai, RUU P-KS berusaha untuk membangun sistem hukum sendiri di luar sistem hukum nasional Indonesia dan sistem hukum pidana nasional Indonesia yang berlaku sekarang (hukum positif).
Ia mengatakan, RUU P-KS telah mengatur secara menyeluruh dan mematikan pasal-pasal dalam hukum pidana. Meliputi hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan hak korban dalam setiap tahapan proses peradilan.
Secara filsafat hukum, RUU ini dinilai rancu. RUU P-KS memusatkan perhatian pada aspek ‘kekerasan’, padahal kata Mudzakkir, seharusnya dipusatkan pada aspek ‘seksualnya’.
Pengurus Majelis Tarjih, Wawan Gunawan Abdul Wahid dan Ahmad Muhsin Kamaludingrat melihat bahwa RUU P-KS timpa-menimpa dengan UU Ketahanan Keluarga. Tidak perlu dimasukkan dalam undang-undang khusus atau lex specialis. Alih-alih membuat payung hukum baru, lebih baik untuk memperkuat sistem hukum yang sudah ada, terutama aspek ketahanan dalam keluarga. Selain itu juga perlu dilihat aspek maqashid-nya.
Pemateri lain, anggota MUI dan dosen Universitas Indonesia, Dr Neng Djubaedah menyampaikan perspektif hukum perdata/keluarga.
Ia menerangkan, pasal-pasal dalam RUU P-KS ini justru bisa membuat rapuh kekokohan dan ketahanan institusi keluarga. Terkait dengan pasal 11 tentang jenis-jenis kekerasan seksual yang dimunculkan, justru banyak yang terlalu lentur dan menimbulkan ragam penafsiran. Hal ini dikuatkan oleh anggota Majelis Tarjih, Ruslan Fariadi. Menurutnya, jika terburu-buru, RUU ini bisa bernasib sama dengan UU ITE misalnya, yang menjadi subversif gaya baru oleh karena kelenturan pasal karetnya.
Neng menyoroti pengertian kekerasan seksual yang seharusnya diganti kejahatan seksual. Neng melihat bahwa jenis delik kekerasan seksual dalam RUU P-KS bermasalah.
Termasuk, jelasnya, dalam turunan penjelasan pasal 12 RUU P-KS, misalnya, pertama: Yang dimaksud dengan “tindakan fisik” antara lain sentuhan, colekan, serangan atau cara-cara lain yang mengenai alat kelamin, atau anggota tubuh yang berhubungan dengan seksual dan seksualitas seseorang, termasuk (maaf, red) dada, payudara, pantat, dan rambut. Kedua, tentang pelecehan seksual yang berupa “tindakan non fisik”, yaitu berupa siulan atau kedipan mata. Hal ini dianggap terlalu berlebihan ketika semuanya dibawa ke ranah pidana. Neng juga menyoroti poin pemaksaan perkawinan, terkait dengan komplikasinya dalam masyarakat adat, misalnya.
“RUU P-KS kering dari nilai-nilai agama, karena itu hendaknya ditolak,” tegasnya.
Dari berbagai pertimbangan, Tim Majelis Tarjih menyatakan bahwa MTT PP Muhammadiyah tidak sepenuhnya menerima dan tidak sepenuhnya menolak RUU P-KS.*