Hidayatullah.com– Amnesty International Indonesia mengatakan, penjelasan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam konferensi pers pada Selasa (11/06/2019) terkait aksi kekerasan yang terjadi pada 21-23 Mei lalu di Jakarta, tidak menyeluruh dan gagal mengungkap fakta mengenai sembilan korban tewas dalam peristiwa tersebut.
“Sangat mengecewakan melihat bahwa alih-alih menunjukkan perkembangan penyidikan tentang sebab musabab korban yang tewas dan pelaku yang harus bertanggung jawab, narasi yang dapat berkembang dari konferensi pers hari ini malah mengarah pada wacana “perusuh vs polisi”,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam siaran persnya diterima hidayatullah.com, Rabu (12/06/2019).
Amnesty International Indonesia mengakui bahwa kepolisian berada dalam kondisi yang tidak mudah ketika menjadi target penyerangan oleh sekelompok massa setelah aksi damai pada 21 Mei malam.
Hal itu tampak pada adanya banyak petugas kepolisian yang terluka. Meski kepolisian mengakui aksi berlangsung damai, yang luput dari penjelasan polisi, terang Amnesty, adalah menjelaskan ke publik terkait pelaku penembakan yang mengakibatkan korban tewas di pihak warga masyarakat.
“Narasi yang beredar hari ini (kemarin, Red) terkesan mengarahkan wacana bahwa semua korban yang tewas adalah ‘perusuh’, dan seakan ingin ‘mewajarkan’ kematian mereka sebagai konsekuensi logis yang dari tindakan mereka dalam insiden ‘kerusuhan’.
Seharusnya polisi mengungkapkan bukti-bukti yang memadai tentang penyebab kematian mereka terlebih dahulu lalu mengumumkan siapa-siapa yang patut diduga sebagai pelaku penembakan terhadap mereka,” tambah Usman.
“Ini menyakitkan bagi keluarga korban yang hari ini berharap polisi mengumumkan ke publik siapa yang melakukan penembakan kepada korban, tapi justru mendapat penjelasan sepihak bahwa seakan mereka semua adalah ‘perusuh’.
Kami telah menemui sejumlah keluarga korban dan mereka mengungkapkan harapan mereka bahwa pelaku pembunuhan itu ditemukan untuk kemudian dibawa ke pengadilan. Harus ada akuntabilitas atas sembilan kematian tersebut,” ujar Usman.
Baca: Pimpinan DPR Dorong Pemerintah Bentuk TGPF Insiden 22 Mei
Hal lain yang luput dari penjelasan kepolisian kemarin, jelasnya, adalah akuntabilitas atas penggunaan kekuatan berlebihan oleh sejumlah aparat kepolisian dalam aksi tersebut, salah satunya adalah dugaan penyiksaan yang terjadi di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
“Sama sekali kita tidak mendengar penjelasan terkait insiden dugaan penggunaan kekuatan yang berlebihan tersebut. Anggota Brimob yang melakukan pemukulan dan penganiayaan di Kampung Bali harus diproses hukum secara adil. Komandan Brimob juga perlu dimintai pertanggungjawaban terkait tindakan brutal yang dilakukan oleh anak buahnya,” pungkasnya.
Data dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta seperti yang disampaikan Gubernur Anies Baswedan menyebutkan, jumlah korban jiwa dalam kerusuhan 22 Mei lalu berjumlah delapan orang (versi Polri sembilan orang). Beberapa di antara mereka tewas karena tertembak peluru tajam. Yang lebih menyedihkan, ada anak berusia belasan tahun yang jadi korban “peluru nyasar” itu.
Namun, terkait semua korban yang tewas dalam kerusuhan 22 Mei, Polri malah menduga mereka sebagai perusuh.
“Kami harus sampaikan bahwa sembilan korban meninggal dunia kami duga perusuh. Penyerang. Diduga ya. Diduga perusuh,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol M Iqbal, kemarin kutip INI-Net, Rabu.
Klaim Polri tersebut berbeda dengan penuturan salah satu keluarga korban, yakni almarhum Reyhan Fajari (16 tahun), saat didatangi anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 24 Mei atau dua hari pascakerusuhan.
Baca: KontraS – LBH Temukan Fakta Baru Misteri Korban Tragedi 22 Mei
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Berdasarkan keterangan keluarga korban, diperoleh informasi bahwa Reyhan bukanlah peserta Aksi 22 Mei. Pada saat kejadian, sekitar pukul 02.30 WIB, Reyhan bersama teman-temanya, seperti biasa, sedang bersiap membangunkan warga di sekitaran mushalla dekat rumahnya untuk sahur.
Dini hari 22 Mei itu, karena di luar jalan raya terdengar ada keramaian, Reyhan bersama teman-temannya bermaksud mencari tahu kegaduhan yang sedang berlangsung. Namun nahas, begitu akan keluar gang, Reyhan terkena peluru nyasar di pelipis mata sebelah kirinya, yang membuatnya roboh seketika.
Warga kemudian mengevakuasi Reyhan dan beberapa temannya yang lain ke mushalla. Namun, karena luka Reyhan dianggap paling parah, ia kemudian dilarikan ke RS Angkatan Laut Mintoharjo, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Sungguh sayang, nyawa korban sudah tak bisa diselamatkan. Di sanalah Reyhan mengembuskan napas terakhirnya.
Reyhan adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Orangtuanya berada di luar Jakarta.
“Sementara pada saat kejadian tragis itu, dia tinggal berlibur di rumah pamannya karena keperluan untuk mengurus lanjutan sekolah. Saat meninggal, Reyhan masih berstatus pelajar kelas tiga SMP,” ungkap Komisioner KPAI, Jasra Putra, Jumat 24 Mei lalu.*