Hidayatullah.com– Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian tidak mau berkomentar soal habisnya masa kerja tim Satgas (satuan tugas) pengungkapan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan padahal belum membuahkan hasil.
Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diteror dengan siraman air keras pada 11 April 2017. Dua tahun lebih kasus itu berlalu hingga kini polisi belum berhasil mengungkapnya ke publik.
Pada 8 Januari 2019 Kapolri Tito Karnavian membentuk Tim Satgas untuk mengungkap kasus penyerangan yang dialami Novel.
Surat perintah itu disebut berlaku selama enam bulan. Berbagai pihak menilai satgas telah gagal dan keburu habis masa kerjanya.
“Tanya Kadiv Humas (Polri),” ujar Tito sambil menutup pintu mobilnya di depan Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (08/07/2019) saat menjawab pertanyaan wartawan mengenai masa tugas tim satgas.
Tim satgas tersebut dibentuk berdasarkan Surat Keputusan nomor: Sgas/ 3/I/HUK.6.6/2019 yang beranggotakan 65 orang dan didominasi dari unsur kepolisian dengan tenggat waktu kerja pada 7 Juli 2019 atau sekitar enam bulan. Namun, sejak tenggat waktu itu terlampaui belum ada pihak yang dinyatakan bertanggung jawab atas penyerangan itu.
“Itu kan ada Kapolri, saya belum ada arahan soal tim baru,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moledoko saat ditanyai hal yang sama oleh wartawan kutip Antaranews.com, Senin.
Baca: Novel Baswedan: Pemberantasan Korupsi di Indonesia Miris
Koalisi masyarakat sipil antikorupsi menilai tim satgas itu gagal melaksanakan tugas sehingga mendesak agar Presiden Joko Widodo segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen agar menunjukkan keberpihakannya pada pemberantasan korupsi.
Menurut koalisi, sejak pertama kali dibentuk, masyarakat pesimis atas kinerja tim tersebut.
Kuasa hukum Novel Baswedan Yati Andriyani menyatakan, tim Satgas bentukan Polri itu harus menyampaikan laporannya kepada publik sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.
Alasannya pertama, jika dilihat komposisinya ada 53 orang berasal dari unsur Polri. Selain itu, saat pertama kali kasus ini mencuat diduga ada keterlibatan polisi atas serangan terhadap Novel sehingga patut diduga akan rawan konflik kepentingan.
Kedua, proses pemeriksaan yang dilakukan oleh tim tersebut sangatlah lambat dan terkesan hanyalah formalitas belaka. Hal ini bisa terlihat ketika tim mengajukan pertanyaan yang repetitif kepada Novel Baswedan pada 20 Juni 2019 lalu, selain itu, hasil kunjungan tim ke kota Malang untuk melakukan penyelidikan pun tidak disampaikan ke publik.
“Sejak tim dibentuk tidak pernah ada satu informasi pun yang disampaikan ke publik mengenai calon tersangka yang diduga melakukan penyerangan,” ungkap Yati dalam keterangan tertulis.
Ketiga, tidak adanya transparansi penanganan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Intimidasi terhadap aktivis antikorupsi bukan hanya kali ini saja yaitu ada 91 kasus yang memakan 115 korban dari tahun 1996-2019.
Terkait hal tersebut, Wadah Pegawai (WP) KPK juga meminta agar Presiden Joko Widodo membentuk TGPF untuk mengungkap pelaku penyerangan Novel. TGPF ini harus bersifat independen serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. “Sebagai bentuk realisasi janji beliau (Jokowi) sekaligus komitmen terhadap pemberantasan korupsi,” ujar Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap.
Yudi menilai bahwa kasus Novel harusnya terus dipandang bukan menjadi kasus individu Novel Baswedan, melainkan sebagai rangkaian yang tidak terpisahkan dari penyerangan dan teror terhadap KPK.
“Pembiaran penyerangan dan teror terhadap pegawai, pejabat struktural, maupun pimpinan KPK, menjadi angin segar bagi berbagai pihak untuk melakukan penyerangan lanjutan terhadap KPK,” tambah Yudi.
Baca: Novel Baswedan Disiram Air Keras saat KPK Tangani Korupsi e-KTP
Novel Baswedan diserang oleh dua orang pengendara motor pada 11 April 2017 usai melaksanana shalat subuh di Masjid Al-Ihsan dekat rumahnya, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Pelaku menyiramkan air keras ke kedua mata Novel sehingga mengakibatkan mata kirinya tidak dapat melihat sebab mengalami kerusakan yang lebih parah dibanding mata kanannya.
Polda Metro Jaya sudah merilis dua sketsa wajah yang diduga kuat sebagai pelaku pada awal 2018, namun belum ada hasil dari penyebaran sketsa wajah tersebut.*