Hidayatullah.com– Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus mempertimbangkan instrumen, aturan hukum yang terkait, termasuk keselarasan tugas dan fungsi masing-masing lembaga atau institusi terkait, sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang berlaku, hingga akuntabilitas dan hak asasi manusia.
Hal tersebut ditekankan kembali oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terkait pembentukan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI baru-baru ini.
KontraS menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap pembentukan Koopssus yang diresmikan oleh Panglima TNI Hadi Tjahjanto pada Selasa (30/07/2019) lalu.
“Pertama, dalam melakukan penanganan terorisme TNI terikat dalam ketentuan pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang TNI, Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat (2); pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus tetap dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik,” ujar Koordinator Badan Pekerja KontraS Yati Andriyani di Jakarta dalam keterangan persnya (31/07/2019).
Lebih jauh, lanjut Yati, dalam hal ini militer bukanlah penegak hukum tetapi alat pertahanan negara, sehingga potensi pendekatan war (perang) model oleh Koopssus TNI dalam penanganan terorisme sangat mungkin terjadi.
Oleh karenanya, KontraS menekankan, keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme harus dipastikan tunduk pada aturan UU tersebut di tersebut.
“Dalam praktiknya, selama ini pun TNI juga sudah terlibat dalam penanganan terorisme di Poso tanpa harus membentuk Koopssus, sehingga pembentukan Koopssus bukanlah sesuatu yang mendesak dalam untuk penanganan terorisme,” ujarnya.
Baca: Koopssus TNI Terbentuk, Jokowi Teken Perpresnya 3 Juli
Kedua, dalam pertimbangan Perpres 42 tahun 2019, keberadaan Koopssus disebut sebagai upaya menghadapi ancaman yang memiliki eskalasi tinggi dan dapat membahayakan ideologi negara dengan menggabungkan matra darat, laut, dan udara yang bercirikan kemampuan khusus dengan tingkat kecepatan gerak dan keberhasilan tinggi secara terintegrasi.
“Berkaitan dengan frasa “eskalasi tinggi” ukuran yang dimaksud pun tidak dijelaskan secara mendetail. Taidak dijelaskan pula terkait keselarasan tugas dengan institusi yang sudah ada, seperti Densus (Detasemen Khusus) 88 juga BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),” ujarnya.
KontraS menilai, masih belum jelas sejauh mana kewenangan yang nantinya akan dimiliki oleh Koopssus TNI, serta bagaimana hubungan antara Koopssus TNI dengan Densus 88 Polri.
“Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah Koopssus TNI nantinya akan bekerja secara otonom tanpa berada di bawah komando Polri sebagai aparat keamanan negara? Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan, pengulangan tindakan, hingga kompetisi antar institusi atau kesatuan,” ujarnya.
Ketiga, pelaksanaan UU Tindak Pidana Terorisme harus tunduk pada sistem peradilan pidana. Dalam hal ini, jelas KontraS, TNI bukanlah penegak hukum yang punya kewenangan menyelidiki dan menyidik dugaan tindak pidana terorisme.
“Oleh karenanya, kewenangan Koopssus TNI yang luas tanpa batasan yang jelas dalam penanganan terorisme rentan merusak sistem peradilan pidana,” imbuhnya.
Keempat, mekanisme akuntabilitas TNI masih menjadi pekerjaan rumah sampai hari ini. Agenda revisi undang – undang peradilan militer mengalami kemandekan. Pengadilan militer masih menjadi celah terjadinya impunitas.
Dalam hal keterlibatan TNI, kata Yati, Koopssus TNI dalam penanganan terorisme tidak disertai dengan mekanisme akuntabilitas dan pengawasan yang memadai dan efektif sehingga potensi terjadinya impunitas (ketiadaan penghukuman) terhadap anggota TNI yang melakukan pelanggaran, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme bisa saja terjadi.
“Oleh karenanya, kami mendesak DPR RI dan Presiden RI selaku institusi yang memiliki kewenangan politik untuk mengawasi dan mengendalikan TNI, memastikan mencegah terjadinya kerentanan dan persoalan yang kami sampaikan di atas,” pungkasnya.
Pada Selasa (30/07/2019) Panglima TNI, Hadi Tjahjanto meresmikan pembentukan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI.
Pembentukan Tim tersebut di antaranya didasari oleh beberapa peraturan perundang–undangan: UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Perpres Nomor 42 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, Perpang TNI Nomor 19 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tugas Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia.*