Hidayatullah.com– Kepala Bidang Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama (LPMQ Kemenag), Abdul Aziz Sidqi, menjelaskan, dalam terjemahan Al-Qur’an edisi revisi dan penyempurnaan, pihaknya tetap menggunakan kata “kafir”, bukan “non-Muslim”.
“Tidak ada perubahan, kami tetap menggunakan kata kafir, bukan non-Muslim. Surat Al-Kafirun juga namanya tetap, tidak berubah,” ujar Sidqi di Gedung MUI, Jakarta, Rabu (31/07/2019) saat menjawab pertanyaan salah seorang perwakilan sebuah ormas Islam dalam Rapat Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) terkait penerjemahan Al-Qur’an.
Walau begitu, Sidqi menyebutkan ada beberapa perubahan transliterasi, seperti dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 153 diterjemahkan menjadi “Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”.
Sedangkan pada edisi pertama, ayat itu diartikan “Wahai orang-orang yang beriman, jadikan sabar dan shalat sebagai penolong”.
“Juga di (Surat) Al-Maidah seperti kata ‘aulia’ yang sebelumnya mengandung arti pemimpin, kini (di edisi 2019) menjadi teman sejati,” katanya.
Di samping itu, seperti kata “a’ma” yang berarti buta, kini diganti dengan tunanetra. Sidqi menjelaskan, penggunaan kata itu diperoleh setelah mendapatkan masukan dari masyarakat yang memiliki disabilitas tunanetra.
Sidqi menejelasan, perubahan tersebut dilakukan melalui berbagai penelitian dan mendengarkan pandangan-pandangan dari masyarakat. Setelah itu, pihak Kemenag melakukan sidang dengan 14 pakar dari beberapa elemen, mulai dari pesantren, Badan Bahasa, hingga para profesor.
“Kami juga baru saja melakukan uji sahih di Bandung (Jawa Barat), tanggal 8-10 Juli kemarin,” ujarnya kutip INI-Net.
Baca: Menag: Revisi & Penyempurnaan Terjemahan Qur’an Merespons Perkembangan
Pada kesempatan yang sama, perwakilan dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Riyanto, mengatakan, di antara struktur kata yang menjadi perdebatan saat sidang adalah huruf kapital, seperti pada kata hari kiamat dan hari kebangkitan. Katanya, forum akhirnya menyetujui kata seperti kiamat dan kebangkitan menggunakan huruf kapital.
“Lalu, juga ada tentang kata baku dan tidak baku yang memiliki imbuhan awalan me, seperti mempengaruhi menjadi memengaruhi. Nah, itu kami seragamkan,” sebutnya.
Ia pun mengupayakan agar struktur kalimat tersusun dengan sempurna. Misalnya, ayat yang terjemahannya berbunyi “Dia yang menciptakan bagimu bumi yang mudah” diubah menjadi “Dialah yang menciptakan bumi (yang mudah bagimu)”.
Sebelumnya, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Balitbang-Diklat Kementerian Agama (Kemenag) menggelar Ijtimak Ulama Al-Qur’an di Bandung, Jawa Barat, Senin-Rabu (08-10/07/2019).
Sejumlah pakar berkumpul untuk melakukan “Uji Shahih Terjemahan Al-Qur’an Edisi Penyempurnaan”. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan, revisi dan penyempurnaan terjemahan Al-Qur’an tersebut merupakan respons atas perkembangan dinamika masyarakat serta bahasa Indonesia.
“Revisi dan penyempurnaan tersebut bukan bermaksud untuk menunjukkan bahwa terjemahan Al-Qur’an yang telah diterbitkan sebelumnya tidak benar, namun sebagai respons terhadap perkembangan dinamika masyarakat dan bahasa Indonesia,” ujar Menag Lukman saat membuka ijtimak tersebut di Bandung, Senin (08/08/2019).
“Boleh jadi itu benar pada masanya. Tetapi sejalan dengan perkembangan bahasa Indonesia dan realitas masyarakat diperlukan penyesuaian,” lanjutnya diberitakan hidayatullah.com pada Selasa (09/07/2019).
Baca: Ijtimak Ulama Uji Sahih Terjemah Al-Qur’an Edisi Penyempurnaan
Disebutkan, bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran (bahasa terjemahan) senantiasa mengalami perkembangan. Begitu pun dengan persoalan dan dinamika masyarakat. Bisa jadi istilah yang dahulu dipilih sebagai terjemahan suatu kata tidak tepat lagi penggunaannya atau tidak lagi sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Bisa juga substansi atau makna ayat tidak sesuai dengan kondisi kekinian dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, Menag menilai, penyempurnaan terhadap terjemahan yang telah ada sangat penting.
“Hal ini sejalan dengan karakter Al-Qur’an yang mempunyai makna dinamis, relevan dengan perkembangan zaman dan mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi dan situasi,” ujarnya menegaskan.
Lebih lanjut, Menag menerangkan, kajian dan penyempurnaan terjemah Al-Qur’an bukanlah pekerjaan mudah. Sangat dibutuhkan ketekunan dan kecermatan dalam melihat makna dan kalimat Al-Qur’an, hubungan satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya, konsistensi dalam penerjemahan kata/kalimat serta menggali pesan yang terkandung dalam ayat. Al-Qur’an memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri yang tidak bisa ditandingi oleh bahasa apapun di dunia.*