Hidayatullah.com– Pemerintah bersama DPR RI telah melakukan pengesahan RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana batas minimal umur perkawinan bagi perempuan dan laki-laki dipersamakan, yaitu 19 tahun.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise pun mengaku sangat senang atas disahkannya RUU itu menjadi UU.
“Rasa sedih dan bahagia karena akhirnya tercapai, disahkannya revisi Undang-Undang Pekawinan dengan batas usia perkawinan minimal bagi perempuan dan laki-laki sama-sama 19 tahun. Ini luar biasa, kami senang sekali, akhirnya setelah 45 tahun (menggunakan UU Perkawinan).
Ini kado bagi anak-anak Indonesia yang pernah saya janjikan di Peringatan Hari Anak Nasional tahun 2019 kemarin, bahwa kami akan berusaha menaikkan angka batas usia perkawinan di atas usia anak. Sebuah sejarah yang harus dicatatkan,” ungkap Menteri Yohana usai pengesahan RUU tersebut oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo dalam Rapat Paripurna DPR RI di Senayan, Jakarta Senin (16/09/2019).
Menteri PPPA mengklaim, keputusan atas pengesahan RUU Perubahan UU Perkawinan itu sangat dinantikan oleh seluruh warga Indonesia, dalam upaya menyelamatkan anak Indonesia atas praktik perkawinan anak yang dianggap sangat merugikan anak, keluarga dan negara.
Yohana menyebut bahwa keputusan itu “mampu menjawab salah satu persoalan perlindungan anak.”
Berdasarkan keterangan Kementerian PPPA, Senin (16/09/2019), Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi. Praktik perkawinan anak di Indonesia berdasarkan data BPS 2017 menunjukkan angka 25,2 persen, artinya 1 dari 4 anak perempuan menikah pada usia anak, yaitu sebelum mencapai usia 18 tahun. Sedangkan pada tahun 2018 BPS sebesar 11,2 persen, artinya 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun, dan ada 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan anak di atas angka nasional.
Menurut Yohana banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat praktik perkawinan anak.
Baca: Menag Prihatin: Pasangan Sepakat Nikah 2-3 Tahun Saja Lalu Cerai
Menurutnya, pertimbangan 19 tahun juga didasarkan bahwa seseorang dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, dapat menekan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan bayi serta pekerja anak. Selain itu, juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
“Fakta-fakta menunjukkan bahwa praktik perkawinan anak harus segera dihentikan, dan jika kondisi ini tidak dicegah akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi ‘Darurat Perkawinan Anak’. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) sejak memperoleh mandat melakukan upaya pencegahan perkawinan anak pada tahun 2016, bersama 15 K/L dan lebih dari 65 lembaga masyarakat terus melakukan berbagai upaya untuk mencegah perkawinan anak, dan ini adalah salah satu upayanya,” sebut salah menteri perempuan di era Presiden Joko Widodo ini.
Pada tanggal 13 Desember 2018 lalu, Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan terhadap Gugatan Nomor 22/PUU-XV/2017. Kemen PPPA kemudian dalam tempo cepat menindaklanjuti Putusan MK tersebut dengan menyusun Naskah Akademis, disertai dengan berbagai kajian dan selanjutnya dilakukan penyusunan RUU dimana Pemerintah sepakat untuk menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi perempuan dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun.*