Hidayatullah.com– DPR RI menjadwalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP/RKUHP). Protes berbagai kalangan terhadap RUU KUHP juga kencang khususnya masalah perzinaan dan peluang kriminalisasi pers.
Terkait itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera mengirim utusan untuk memberikan masukan dan saran kepada DPR.
MUI memutuskan akan mengirim saran dan masukan ke DPR agar memperbaiki pasal-pasal RUU KUHAP yang masih multitafsir. Saran dan nasihat MUI akan disampaikan langsung melalui utusan tersebut.
“Besok (hari ini, red) atau lusa akan ada utusan langsung menyampaikan pertimbangan perbaikan untuk beberapa pasal-pasal yang rawan untuk ditafsirkan,” ujar Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Didin Hafidhuddin setelah rapat pleno ke-43 Wantim MUI, di Jakarta, Rabu (18/09/2019) kutip INI-Net, Kamis (19/09/2019).
Beberapa pasal tersebut, di antaranya, Pasal 480 ayat 1 dan 3 dengan masalah yang berkaitan soal kekerasan dan bukan kekerasan. Selanjutnya Pasal 417 ayat 1 dan 4 tentang hubungan seks di luar nikah juga dinilai perlu diperbaiki karena membuka ruang terhadap tindakan perzinaan.
“Membuka ruang perzinaan untuk yang tanpa laporan, artinya baru dikatakan perzinaan kalau suami melaporkan istrinya berzina atau sebaliknya atau perangkat setempat. Kalau tidak dilaporkan, tidak dianggap zina,” ungkap Didin.
MUI mengusahakan beberapa pertimbangan yang mereka ajukan bisa dibahas DPR meskipun tenggat waktu RUU KUHP untuk disahkan semakin mepet.
“Mudah-mudahan paling tidak dibaca, memperbaiki rumusan-rumusan RKUHP yang segera disahkan ini,” harapnya.
MUI bahkan menyarankan sebaiknya pengesahan RUU KUHP ditunda sebelum dilakukan perbaikan. Misalnya, sebut Didin, pada pasal 480 ayat 1 dan 3 dengan masalah yang berkaitan soal kekerasan dan bukan kekerasan. Pasal itu multitafsir karena tidak menjelaskan secara spesifik.
“Apakah berlaku pasal itu pada suami istri yang sah, dan soal sukarelanya apakah berlaku kepada laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri,” sebutnya.
Sementara itu, soal apakah DPR akan mengakomodasi pesan MUI, respons positif DPR sangat diharapkan. Pastinya, Komisi III DPR RI dan Pemerintah sudah bulat akan membawa RUU KUHP dalam pembicaraan Tingkat II di Rapat Paripurna DPR untuk kemudian disahkan menjadi UU pada Selasa (24/09/2019) mendatang.
“Izinkan saya untuk memberikan pengesahan untuk diketok. Bisa disepakati,” ujar Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin dalam Rapat Kerja dengan Kemenkumham di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/09/2019).
Wakil Pemerintah, Menkumham Yasonna Laoly juga setuju. Menurut menteri dari PDIP ini, pihaknya bahagia dan bangga karena RUU KUHP merupakan perjuangan yang panjang.
Yasonna berharap penegakan hukum pidana berjalan lebih baik sesuai pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Akan tetapi, MUI menyanggahnya karena ada pasal bermasalah terkait norma agama yaitu masalah perzinaan.
Dalam rapat Komisi III DPR RI dan pemerintah hanya setuju untuk menghapus Pasal 418 yang ada dalam RUU KUHP yang juga tentang perzinaan. “Jadi pasal 418 untuk dilakukan drop. Perlu kami sampaikan bahwa dapat disetujui (didrop) dalam forum lobi,” ujar Aziz.
Sebelumnya Menkumham Yasonna memang meminta Pasal 418 dihapus karena ditakutkan disalahgunakan dalam penerapannya. “Khusus Pasal 418 takutnya bukan apa-apa, takut nanti sama seperti pasal narkoba, antara pemakai dan kurir,” sebut Yasonna.
Menurutnya, apabila pasal itu tetap ada, ditakutkan ada upaya kriminalisasi dan pemerasan dilakukan oleh pihak tertentu. Dalam RKUHP Pasal 418 ayat 1 menyebutkan laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini kemudian mengingkari janji tersebut dipidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak kategori 3.
Pasal 418 ayat 2 disebutkan, dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan di pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori 4.
Pasal “Kriminalisasi Pers”
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyebut bahwa Pasal 281 dalam RUU KUHP tidak akan mengkriminalisasi pers.
Pasal 281 dalam RKUHP itu berisi delik penghinaan terhadap pengadilan atau “contempt of court”.
Arsul menyebut yang diributkan media pada Pasal 281 ayat 4, tidak boleh menyebarkan hasil persidangan. Kalau merekam dan menyebarluaskan, itu bagian dari “contempt of court”.
Akan tetapi, menurutnya harus dibaca penjelasannya bahwa yang dimaksud proses persidangan dalam pasal tersebut adalah proses persidangan yang tertutup.
“Dalam proses persidangan ketika hakim telah menyampaikan bahwa tidak boleh disiarkan, maka tidak boleh. Kalau hakim tidak mengatakan apapun, maka disiarkan ke se-antero jagat, ya silakan saja,” sebutnya.*