Hidayatullah.com– Badan Wakaf Indonesia (BWI) mengimbau masyarakat dan nazhir (pengelola) wakaf untuk mengurus sertifikat tanah wakaf masjid secepatnya setelah ikrar wakaf. “Agar kejadian tanah masjid diagunkan tidak terjadi sehingga tidak akan ada lagi cerita masjid hendak disita bank,” ujar Anggota BWI Atabik Luthfi, Selasa (05/11/2019).
Imbauan itu disampaikan BWI menanggapi ramainya pemberitaan mengenai Masjid Riyadhul Jannah yang beralamat di RT 03/RW 01, Dusun Bangsri Cilik, Desa Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Masjid itu dikabarkan terancam disita oleh Bank BPR Central International, Sukoharjo karena dijadikannya sertifikat tanah masjid tersebut sebagai jaminan peminjaman hutang. Diketahui, pada tahun 2011 bangunan Masjid Riyadhul Jannah telah diwakafkan kepada masyarakat untuk dikelola menjadi tempat ibadah para warga.
Menurut Atabik, wakif hendaknya mengikrarkan wakaf tanah di hadapan kepala KUA selaku pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW). Kepala KUA akan meminta sertifikat tanah dari wakif dan menerbitkan akta ikrar wakaf (AIW).
“Sertifikat tanah dan AIW inilah dokumen utama untuk mengurus perubahan sertifikat tanah dari sertifikat hak milik (SHM) menjadi sertifikat wakaf di Badan Pertanahan Nasional (BPN),” jelasnya kutip website resmi BWI.
Dengan adanya dokumen sertifikat wakaf, lanjutnya, tanah tidak akan bisa diagunkan karena bank pasti menolak. Dengan demikian, tertutuplah kemungkinan tanah masjid disita bank.
Disebutkan, mengagunkan tanah wakaf merupakan salah satu larangan yang diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Disebutkan bahwa “harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk hak lainnya.” Undang-Undang Wakaf Pasal 67 bahkan dengan tegas memberikan ancaman sanksi pidana 5 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.*