Hidayatullah.com– Menteri Agama Jenderal (Purn) TNI Fachrul Razi menanggapi Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah terkait pengajian agama.
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini Plt Gubernur Aceh menerbitkan SE Nomor 450/21770 tanggal 13 Desember 2019.
SE ini mengatur bahwa penyelenggaraan kajian/pengajian di Aceh mesti berdasarkan I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah dan Mazhab Syafi’yah.
Menanggapi SE itu, Menag menilai bahwa Aceh sudah memiliki Qanun atau perda yang mengatur hal itu.
“Aceh sudah punya Perda atau Qanun. Di situ sudah ada aturan mengenai praktik pokok-pokok syariat Islam serta perlindungan dan pembinaan aqidah,” ujar Menag Fachrul di Jakarta kemarin kutip website resmi Kementerian Agama pada Selasa (28/01/2020).
Baca: Madzhab dan Ukhuwah
Menag kelahiran Aceh ini menjelaskan bahwa Aceh sudah memiliki Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Pasal 14 ayat 3, 4 dan 5 mengatur dibolehkannya pelaksanaan Syariat Islam oleh mazhab lain, selain mazhab Syafi’i.
Ayat 3 misalnya, mengatur bahwa “Penyelenggaraan ibadah yang tidak mengacu pada tata cara mazhab Syafi’i dibolehkan selama dalam bingkai mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali dengan selalu mengedepankan kerukunan, ukhuwah Islamiyah dan ketentraman di kalangan umat Islam.”
Ayat 4 mengatur, “Dalam hal ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi, Maliki, atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan mazhab Syafi’i”.
Sementara ayat (5) menjelaskan, ”Dalam hal kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi keagamaan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits serta diakui secara sah oleh negara tetap dibenarkan/dilindungi.”
Baca: Meski Beda Pendapat, Imam Ahmad Doakan Syafi’i 40 Tahun
Mantan Wakil Panglima TNI ini pun menjelaskan bahwa Aceh juga sudah punya Qanun Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah.
“Pasal 7 yang mengatur larangan antara lain menegaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja menuduh orang lain sebagai penganut atau penyebar aliran sesat atau sengaja menghina atau melecehkan aqidah,” ujarnya.
Terkait itu, Kemenag mengimbau semua pihak untuk turut menjaga kerukunan sesuai kultur masyarakat, termasuk di Aceh yang cinta perdamaian dan persatuan.
Menag mengaku bahwa mencabut SE bukan menjadi kewenangan Kemenag. Menag akan mendiskusikan hal ini dengan Kemendagri sebagai instansi pembina Pemerintah Provinsi.
Di sisi lain ia menganggap SE itu dikeluarkan dengan niat baik menanggulangi penyebaran ideologi atau mazhab yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat Aceh
“Inisiatif pemerintah daerah dalam menjaga kerukunan dan kedamaian di wilayahnya patut diapresiasi. Pijakannya tentu regulasi,” sebutnya.*