Hidayatullah.com- Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam, saat raker Banggar DPR dengan Menteri Keuangan, OJK, dan lain-lain, menyampaikan bahwa Perppu No 1/2020 telah berdampak buruk pada sistem keuangan.
Sehingga, FPKS menolak RUU Tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.
FPKS berpendapat sebaiknya pemerintah fokus mengatasi dampak-dampak dari pandemi Covid-19, dengan menghadirkan payung hukum atau Perppu yang tidak bermasalah.
“Perppu telah membuka banyak ruang terbuka yang berbahaya bagi sistem keuangan kita. Kekuasaan tak terbatas KKSK, kekebalan hukum, dibukanya peluang kebijakan bail-out dan blanket guarantee adalah contoh-contohnya. Ini sangat berbahaya,” paparnya menjelaskan alasan FPKS menolak Perppu 1/2020 untuk dijadikan UU dalam rilisnya diterima hidayatullah.com, Rabu (06/05/2020).
Ecky menyampaikan, Perppu 1/2020 telah membuka peluang terjadinya kebijakan bail-out atau penyelamatan sektor keuangan dengan keuangan negara yang bersifat tidak adil.
“Kebijakan bail-out memunculkan ketidakadilan bagi rakyat, dan seharusnya skema penyelamatan bank melalui peran pemegang saham atau group konglomerasinya (bail-in) sebagaimana ditetapkan pada UU No 9 Tahun 2016 tentang PPKSK. Seharusnya ini yang tetap digunakan dan diutamakan. Hal ini disebabkan pemilik bank merupakan konglomerat di negeri ini. Bisnisnya pun menjamur ke sektor-sektor lainnya. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mampu menggunakan skema bail-in,” tegasnya.
Ecky menekankan, skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998.
Penyimpangan tersebut jelasnya telah membebani negara lebih dari Rp 650 triliun, ditambah dengan beban bunganya.
Beban berat ini kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan.
“Segelintir kelompok konglomerat menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI dan Obligasi Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi sampai sekarang. Mereka tetap memiliki privilege menjadi oligarki ekonomi dan modal yang bahkan mempengaruhi lanskap sosial dan politik hari ini.
Kita menolak skema bail-out dari keuangan negara atas kerugian perusahaan swasta baik bank, lembaga keuagan, atau perusahaan lainnya,” tegasnya.
Ecky juga mengungkapkan, Perppu 1/2020 memunculkan potensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh (blanket guarantee) yang melukai keadilan dan berpotensi memunculkan moral hazard.
Pada Pasal 20 disebutkan bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diberikan kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sementara pada Pasal 22 ayat 1, masih sebut Ecky, ditegaskan bahwa untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai LPS. Dengan penjaminan penuh (full guarantee) maka seluruh simpanan di perbankan seluruhnya dijamin oleh pemerintah.
“Tentu ini mencederai rasa keadilan rakyat. Selain berpotensi memunculkan moral hazard,” pungkasnya.
Ecky telah menyampaikan Pendapat Fraksi PKS dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI yang digelar untuk pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan pada Senin (04/05/2020).
Dalam Rapat Kerja dihadiri oleh Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Gubernur BI, Ketua OJK, dan Ketua LPS termasuk dengan agenda pengambilan keputusan atas RUU tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2020 Menjadi UU. Wakil Ketua Fraksi PKS ini menyampaikan bahwa Fraksinya telah menyampaikan 22 catatan terkait Perppu tersebut.*