Hidayatullah.com– Aktivis Muslimah Dr Sabriati Aziz dalam rapat pleno MUI ke-60 mengatakan bahwa saat ini di Indonesia sedang terjadi banyaknya krisis yang bersifat multidimensi dan ada di segala aspek kehidupan.
Presidium Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) ini menjelaskan bahwa adanya hubungan yang erat tentang krisis multidimensi itu dengan peran keluarga yang gagal.
“Saat ini kita krisis dalam multidimensi, baik krisis kepemimpinan, dan krisis banyak hal bahkan hingga krisis ekonomi. Jika kita tarik asal muasal, maka ada yang bermasalah dari keluarga. Itu yang menjadi catatan kami,” jelasnya dalam rapat pleno MUI ke-60 yang dilaksanakan via aplikasi zoom, Rabu (03/06/2020).
Sabriati menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang ia anggap mengapa keluarga erat kaitannya dengan krisis yang sedang terjadi di Indonesia ini.
Yang pertama, lemahnya pembelajaran atau penanaman aqidah terhadap anak di lingkungan keluarga. Ia menjelaskan bagaimana anak-anak tidak mendapatkan pembelajaran bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah Subhanahu Wata’ala.
“Keluarga belum mampu menanamkan aqidah yang kuat, bagaimana contohnya menanamkan kepada anak kita sejak kecil, ketika ada hal yang mereka hadapi, kenapa tidak tarik siapa di balik semua itu, tentunya ada Allah. Entah saat mereka mendapat rezeki ataupun musibah,” ucap Sabriati.
Sehingga pada akhirnya, anak-anak yang lemah aqidahnya dinilai nanti akan sangat muda tergoda oleh berbagai kesesatan.
Sabriati juga menyebutkan lemahnya sistem pola pengasuhan orang tua. Dengan kesibukan kedua orang tua untuk bekerja, membuat anak merasa kurang diawasi, sehingga meningkatnya data-data mengenai kenakalan remaja sampai kriminalitas remaja.
“Lemahnya pola asuh, ayah-ibu sibuk bekerja, akhirnya masuk pada data-data yang tinggi anak-anak mengakses video porno, angka penggunanya narkoba. Hal ini jika ditarik kesimpulan maka akan didapat dengan kurangnya pola pengasuhan,” sebutnya.
Sabriati pun menyoroti bagaimana teknologi sangat berpengaruh terhadap pola kembang anak di dalam keluarga. Menurutnya, pada era sekarang, semua orang dari berbagai usia dapat dengan mudah mengakses teknologi. Tentunya tanpa didasari pemahaman yang baik oleh anak dan juga abainya pengawasan orang tua terhadap penggunaan teknologi anak, maka bisa dipastikan anak bisa saja rusak oleh teknologi.
“Jika semua kita bisa akses teknologi secara bebas, tanpa pengawasan orang tua dan tanpa dasar pemahaman aqidah yang benar, tentunya bisa merusak mereka,” ujarnya.
Selain hal-hal itu, Sabriati mengatakan ada juga gerakan ideologi yang besar untuk merusak tatanan keluarga Indonesia.
Ia menyoroti bagaimana UU No 1 Tahun 1974 terkait UU pernikahan yang menyebutkan keluarga adalah terdiri dari laki laki dan perempuan sedang berusaha dihapuskan.
“Kita melihat bahwa secara sistematik keluarga Indonesia sedang dipantau dan sedang diubah tatanannya,” ucapnya.
“Lalu pada RUU yang kita tawarkan untuk menguatkan UU No 1/1974, sangat ditantang bahwa keluarga itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, sangat ditantang dari mereka yang berpikir bahwa pernikahan juga bisa sesama jenis (homoseksual, red)”, ujarnya.
Tentunya, Sabriati mengatakan, di masa lalu mereka penganut ideologi seks sesama jenis ini pernah berhasil menggolkan ketukan palu dari pemerintah di negara lain untuk menyetujui pemahaman mereka. Fenomena ini dinilai bisa saja juga terjadi di Indonesia.
“Tentunya kita melihat di beberapa negara, perjuangan mereka menjadi tantangan besar bagi kita untuk menjaga tatanan keluarga di Indonesia,” ujarnya.* Abdul Mansur J