Hidayatullah.com–Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menanggapi kasus penangkapan Ketua Adat Masyarakat Kinipan, Effendi Buhing, di Lamandau, Kalimantan Tengah pada pada Rabu kemarin, (26/08/2020). Usman melihat penangkapan itu sebagai bentuk nyata pembungkaman terhadap pembelaan masyarakat adat.
“Penangkapan sewenang-wenang Effendi Buhing adalah bentuk pembungkaman atas upaya pembelaan hak masyarakat adat yang selama ini belum dilindungi secara maksimal,” kata Usman dalam keterangan rilis yang diterima hidayatullah.com, Kamis, (27/08/2020).
Usman turut menyanyangkan peranan pemerintah sebagai pelindung tidak terjadi kepada masyarakat adat, hal itu terlihat dengan penjemputan paksa yang lakukan oleh polisi. “Pemerintah yang memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak masyarakat adat belum sepenuhnya menjamin hak-hak mereka atas tanah, wilayah, budaya dan sumber daya alam yang mereka miliki secara turun-temurun. Penjemputan paksa Effendi tidak dibenarkan. Siapa saja berhak mendapat bantuan hukum dan tidak boleh menerima perlakuan semena-mena,” ujarnya.
“Negara harusnya berperan melindungi dan menghormati hak setiap warga yang menyampaikan aspirasi. Penangkapan para pegiat HAM seperti Effendi karena upaya mereka melindungi hak asasi jelas bentuk pelanggaran HAM,” lanjutnya.
Dengan begitu, Usman melanjutkan, perlu segera diberi kebebasan kepada yang bersangkutan, begitu juga pembela masyarakat adat lainnya, yang lebih dulu ditahan. “Aparat berwenang harus segera membebaskan Effendi dan para pembela hak masyarakat adat lainnya,” tegasnya.
“Kami mendesak Pemerintah untuk mengedepankan interaksi dengan masyarakat adat dan secara aktif mengambil langkah-langkah nyata untuk melindungi masyarakat adat dari segala bentuk perampasan hak-hak mereka. Dialog dan pengakuan akan hak masyarakat adat atas tanah juga menjamin keterlibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hak dan kesejahteraan mereka,” tambahnya.
Lebih jauh, Usman meminta kepada pemerintah baik pusat atau daerah untuk memberi perlindungan kepada masyarakat adat, tidak memaksakan dan mengambil keputusan yang tidak disepakati.
“Kami juga meminta Pemerintah pusat dan daerah untuk selalu melindungi masyarakat adat dari paksaan apapun dalam pengambilan keputusan dan tidak mengambil keputusan yang bertentangan dengan keinginan masyarakat adat, bukan malah mengkriminalisasi mereka dan orang-orang yang membela hak masyarakat adat,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, Effendi Buhing ditangkap dari kampung adat Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, pada tanggal 26 Agustus 2020. Polisi datang ke kampung adat tersebut lengkap dengan senjata lalu membawa paksa Effendi. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial menunjukkan proses penangkapan Efendi Buhing. Dalam video tersebut, Efendi, yang menolak dibawa ke kantor polisi tanpa pengacara, terlihat diseret oleh petugas polisi ke luar dari rumahnya.
Sebelumnya, ada lima masyarakat adat Kinipan yang juga ditangkap oleh aparat polisi karena masalah konflik tanah dengan PT. SML, perusahaan kelapa sawit. Keenam nama masyarakat adat yang ditangkap itu adalah: Effendi Buhing / Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Riswan (Pemuda Adat), Yefli Desem (Pemuda Adat), Yusa (Tetua Adat), Muhammad Ridwan, Embang.
Menurut keterangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), permasalahan tanah di kampung adat Kinipan berawal dari tahun 2012, ketika perusahaan tersebut muncul dan mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Izin pelepasan hutan dan Hak Guna Usaha (HGU) yang diterima perusahaan itu membuat masyarakat adat protes, dan berusaha mempertahankan wilayah adat mereka. Selama itu pula, Masyarakat Adat Kinipan berusaha melindungi kayu ulin yang ada di hutan setempat.
Amnesty Internasional mendapatkan informasi dari pihak Polda Kalimantan Tengah (Kalteng) bahwa Riswan dan Embang ditangkap atas tuduhan pencurian dengan kekerasan menggunakan sebuah gergaji mesin milik dua karyawan PT SML Kalimantan Tengah. Effendi sendiri saat ini berada di Polda Kalteng.
Sebelumnya, kasus serupa dialami oleh masyarakat adat Pubabu, Nusa Tenggara Timur, yang menolak rencana pembangunan di hutan adat mereka. Aparat keamanan datang ke daerah pengungsi masyarakat adat tersebut dan meneror perempuan dan anak-anak. Beberapa anak dibawa ke kantor Brimob dan diintimidasi.
Dari bulan Januari hingga 27 Agustus 2020 ini, Amnesty mencatat adanya 29 pembela hak masyarakat adat yang mendapat serangan baik berupa penangkapan, kekerasan fisik, dan intimidasi. Hak-hak masyarakat adat sudah diakui dalam hukum HAM internasional maupun hukum nasional. Hak kolektif masyarakat adat, terutama untuk memiliki, mengembangkan, mengontrol dan menggunakan tanah adatnya diatur dalam Pasal 27 Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Ketentuan ini didukung oleh Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia No. 23 Tahun 1994 yang menyatakan bahwa perlindungan budaya di bawah Pasal 27 ICCPR juga mencakup perlindungan tanah masyarakat adat dan penguasaan sumber daya. Hak masyarakat adat juga dijamin dalam Rekomendasi Umum Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial No. XXIII (51) tentang Masyarakat Adat.* Azim Arrasyid