~Patah tumbuh hilang berganti
Belum patah sudah tumbuh
Belum Hilang sudah berganti ~
(KH. Abdullah Syukri Zarkasyi)
Hidayatullah.com | SOSOK Kiai Pengkader yang keras berfikir, keras bekerja, keras bersabar dan keras berdoa itu kini telah Tiada. Rahimahullahu rahmatan wasi’ah.
Ustadz Syukri.. demikian kami santri-santri, mahasiswa dan guru di Gontor biasa menyebut KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Sebab di Gontor tidak ada pembedaan dalam penyebutan antara guru baru hingga kiai pengasuh pondok, semuanya dipanggil ustadz.
Ustadz Syukri adalah kiai, pengasuh, pendidik, guru dan manager kami semua. Jasa dan jariyah kebaikan beliau sudah tidak terhitung lagi, khususnya bagi diri saya pribadi. 11 tahun di PP Modern Darussalam Gontor-Ponorogo (PMDG), baik sebagai santri (6 tahun), maupun sebagai guru dan mahasiswa S1, saya merasakan betul bagaimana beliau mendidik, mengajar dan menggembleng kami semua dalam hal keilmuan, pengkaderan.
Saya juga mengnal cara pengelolaan unit-unit wakaf Pondok Modern Gontor. Kebetulan semasa guru, saya ditugaskan di unit percetakan (3 tahun), panitia kalender, ketua panitia ujian akhir tahun, ketua lab komputer (DCC), dan Dema.
Semua tugas itu mau tidak mau harus membuat laporan berkala ke Kiai Syukri, khususnya saat di percetakan. Rutin setiap bulan kami semua menghadap beliau langsung, melaporkan kondisi percetakan, perkembangan aset, dll.
Saat itu kami ditanya detail sekali, tentang stok kertas di gudang, harga 1 rim plano bermacam jenis kertas, tentang jumlah mesin, kemampuan cetak per mesin, jumlah pekerja, dll. Kalau kami tidak bisa menjawab, beliau marah dan membentak, lalu kami disuruh pergi untuk menghadap lagi. “Jangan ke sini lagi kalau kalian tidak siap, dan tidak mengetahui permasalahan di pos tugas kalian!”
Pertemuan berikutnya kami ditanya lebih banyak lagi, tentang percetakan. Alhamdulillah karena masing-mamsing sudah melakukan persiapan matang, kami pun bisa menjawab. Lalu beliau tersenyum.
“Kalian itu kader-kader umat, harus siap dididik! Kalau kalian saya tempatkan di percetakan, lalu kalian tidak bisa menjawab pertanyaan tentang percetakan di luar kepala, berarti kalian tidak menguasai data, dan itu sama saja kalian tidak kerja, tidak sungguh-sungguh! Bagian diesel pun saya tanya berapa jumlah kran di pondok, bola lampu dlsb,” demikian kata beliau. “Saya sebagai Kiai Gontor tidak megang sepeser pun uang pondok, tapi saya tahu data keuangan pondok, jumlah santri dan guru. Sebab Kiai itu bukan sekedar tahu ilmu agama saja, tapi juga sebagai manager, penanggung jawab, pendidik dan pengasuh. Mendidik santri itu sulit, tapi lebih sulit lagi mendidik guru, apalagi guru senior. Mendidik guru senior itu sulit, tapi lebih sulit lagi mendidik keluarga. Dan semua itu dimulai dari keteladanan dan keikhlasan. Maka siapa saja yang melanggar disiplin/sunnah pondok akan dihukum kalau perlu diusir, tidak perduli keluarga pendiri pondok,” tambah beliau.
Demikianlah kami mendapat “setruman” langsung dari beliau. Baik ketika menghadap untuk laporan unit wakaf pondok, maupun ketika pertemuan mingguan bersama guru-guru (Kamisan) yang saat itu berjumlah 300-an guru. Ada kalanya saat di Dema, saya, Ustad Hasib dan satu ustadz dari sekretaris pimpinan dipanggil beliau dan diajak keliling daerah sekitar, hingga wilayah Wonogiri. Beliau menyetiri sendiri sambil memberi banyak pelajaran dan motivasi.

Supaya kami tidak tegang beliau biasanya menanyakan hal-hal pribadi kami. Dan kebetulan beliau juga tahu bahwa ayah saya dulu adalah teman seangkatan beliau di Gontor. Di mobil itu beliau banyak memahamkan kami tentang nilai-nilai pondok, kaderisasi dan panca Jiwa, khususnya tentang keikhlasan.
“Pondok ini bukan milik Kiai atau pendirinya, tapi sudah diwakafkan untuk umat. Jadi kalian mengajar, dan bekerja di pondok ini bukan untuk saya, tapi untuk umat, li i’la-i kalimatillah, dan manfaatnya kembali ke kalian sendiri. Yakinlah: In tansurullah yansurkum (jika kalian menolong [agama] Allah, niscaya Dia menolong kalian). Sebaliknya jika ada yang mau merusak pondok ini berarti dia merusak aset umat, bukan aset Kiai pribadi,” demikian pesan Kiai Syukri. “Memimpin pondok itu bukan hanya memimpin kegiatan belajar mengajar antara santri dan guru saja, tapi juga mengatur kehidupan di pondok, memikirkan kesejahteraan santri, guru, dll., termasuk bagaimana gizinya santri terpenuhi, kesehatan mereka, hubungan antar guru, tidak saling mengirikan, dlsb,” tambahnya.
Begitulah kurang lebih nasehat beliau saat itu. Semua itu “disetrumkan” dengan nada dan intonasi yang tegas dari lubuk hati yang mendalam. Kiai Syukri memang selalu enerjik, semangat beliau mengalahkan kekuatan fisiknya.
Kegiatan dan perhatian beliau untuk masyarakat sekitar juga tidak kurang-kurangnya. Sebagai contoh, begitu mendengar ada usaha-usaha pemurtadan hampir seluruh penduduk Muslim di sebuah desa yang tidak begitu jauh dari PMDG, beliau tidak segan terjun ke desa tersebut.
Berbekal satu bola volly dan net, akhirnya banyak warga yang kembali masuk Islam. Demikian halnya ketika Indonesia dilanda virus “Islam Liberal” dan tantangan pemikiran, maka beliau pun menginisiasi berdirinya PKU (Program Kaderisasi Ulama) di Gontor.
Sebelum jatuh sakit, saat saya sempat sowan. Beliau pernah mengungkapkan azamnya untuk menulis buku tentang pemikiran Islam dan menjelaskan kelemahan argumen liberal.
“Saya tahu kitab-kitab yang harus dirujuk, tapi banyak kewajiban lain yang tidak bisa saya tinggalkan sehingga belum memungkinkan untuk duduk menulis,” demikian kata Kiai Syukri.
Masih terlalu banyak catatan dan memori saya untuk diceritakan di sini. Tapi beliau memang benar-benar seorang Kiai, guru, pendidik dan manager yang luar biasa. Seorang tokoh pemimpin yang benar-benar keras berfikir, keras bekerja, keras bersabar dan keras berdoa.
“Selamat jalan ayahanda KH.Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Semoga Allah menerima amal ibadah dan jariyah kebaikan antum, diampuni segala khilaf, dan dikumpulkan di tempat yang mulia bersama para kekasih-Nya. Dan semoga anak cucu beliau pun tumbuh menjadi generasi alim-sholeh yang mampu meneladani semua kebajikan beliau. Amin amin amin Ya Mujibassailin.*
Lahu al-fatihah
Dr. Henri Shalahuddin, alumni KMI tahun 1995