Hidayatullah.com- Para dai didorong agar memahami peraturan perundang-undangan seperti UU Pendidikan, UU Perlindungan Anak, dan sebagainya. Bagi dai yang bergiat di lembaga, perlu pula memperhatikan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena, kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Hidayatullah, Dudung A Abdullah, bisa saja ada orang yang menyumbang tapi ternyata melakukan pencucian uang. Ia juga menekankan pentingnya memahani UU Yayasan.
Hal ini disampaikan Dudung mengingat masih kerap terjadi kasus dai atau guru yang terjerat hukum. “Dan yang paling banyak sekarang ini terjerambab dalam kasus kriminalisasi dai adalah UU ITE. Maka tolong dipahami itu semua. Jangan sampai kemudian kita menyebarkan sesuatu yang ada di media sosial, tidak disaring langsung di-share. Tidak dilihat dulu benar atau tidaknya,” ujarnya.
Dudung mengingatkan hal tersebut sebagai salah seorang narasumber dalam Webinar Series 10 – Pra Munas V Hidayatullah disiarkan kanal Youtube Hidayatullah ID, Rabu (21/10/2020), dengan tajuk “Antisipasi Kriminalisasi Dai dan Guru Masa Kini”.
Pendiri Kantor Hukum DRDR ini menyampaikan sejumlah langkah yang harus dilakukan dalam mengantisipasi agar dai atau guru tidak terjerat kasus hukum atau kriminalisasi.
Antara lain, sebutnya, dai harus membangun komunikasi yang konstruktif dengan semua pihak. Sehingga, saat ada permasalahan di tengah masyarakat atau ada perasaan lain terhadap dai atau suatu lembaga, hal itu dapat segera dibicarakan dan dicairkan. “Maka seorang dai itu harus komunaktif di tengah masyarakatnya,” ujarnya mengingatkan.
Baca: Dosen Hukum: Mediasi Penal Bisa Jadi Solusi Penyelesaian Kasus Kriminalisasi Dai
Selain itu, saat berbicara di tengah umat, dai harus punya basis data yang kuat untuk menghindari terjadinya fitnah. Sebab, bisa saja yang disampaikan seorang dai benar tapi tidak ada basis datanya. “Maka orang atau lembaga yang tak suka bisa saja melaporkan sebagai perbuatan tidak menyenangkan,” imbuhnya.
Dudung memandang, guru yang berada di lembaga Islam penting untuk membuat aturan tata tertib transparan yang bisa dibaca dan dipahami oleh wali santri. Dan itu harus disepakati. Sehingga, konsekuensi yang terjadi sudah ada aturannya.
Dudung juga berpesan, masih dalam upaya menghindari kriminalisasi, guru di lembaga Islam agar menghindari penerapan hukuman yang bersifat kekerasan fisik. Sebab, jika kemudian orang yang tidak suka terhadap sang guru, maka bisa saja dilaporkan.
“Mungkin boleh jadi yang melaporkan bukan orangtuanya tapi masyarakat sekitar atau kelompok tertentu yang tidak suka,” sebutnya.
Yang dinilai tidak kalah penting saat seorang dai menghadapi masalah hukum, maka lembaga yang menaungi sang dai, baik organisasi, perkumpulan, ormas, atau yayasan, maka harus turun tangan bertanggung jawab memberikan bantuan hukum.
“Jangan membiarkan dai sendirian. Dia dihujat sendirian. Keluarganya juga dihujat. Dengan pendampingan hukum dari lembaga, dai tidak merasa sendirian dan merasa dirangkul. Kasihan, dia jangan sampai berdakwah sendirian, berhadapan dengan hukum juga sendirian,” ujarnya advokat yang kerap melakukan pendampingan hukum terhadap aktivis Muslim.
Dudung pun menyampaikan perlunya dibangun biro khusus yang mengurusi hubungan masyarakat (humas) di lembaga yang menaungi para dai atau guru. Tujuannya, saat ada permasalahan, tidak langsung menyasar ke orangnya, tetapi ke bidang Humas yang menyampaikan apa yang terjadi.
“Dengan demikian, apa yang disampaikan ke masyarakat itu terpola dengan baik,” ujar Dudung.
Baca: Dahnil: Setop Kriminalisasi Ulama jika Serius Mau Rekonsiliasi
Menurut Dudung, dai bisa dikriminalisasi tidak saja personalnya tetapi juga asetnya. Misalnya, asetnya dianggap penyerobotan, padahal surat-suratnya lengkap. Ini terjadi karena ada yang tidak suka. “Ada juga yang mungkin diprovokasi untuk melakukan tindakan kriminalisasi. Atau lembaganya yang dikriminalisasi dengan stigma misalnya cap radikal,” ungkapnya, menyebutkan sejumlah kasus hukum kriminalisasi dai yang ditanganinya.
Menurutnya, kriminalisasi atau pemenjahatan berasal dari bahasa Inggris: criminalization. Apakah kriminalisasi ini benar terjadi? Mengacu pada pernyataan Natalius Pigai semasa di Komnas HAM bahwa kriminalisasi betul ada.
“Kalau kita lihat sejarah, para pejuang kemerdekaan juga dikriminalisasi. Dai sebagai pembawa nilai kebenaran, pasti menghadapi masalah ini. Bahkan orang yang terganggu dengan kiprah dai, akan dikriminalisasi,” ujar Dudung.
Dudung menyampaikan bahwa dai sebagai pewaris para Nabi, tetap konsisten dalam menjalankan tugas menyampaikan kebenaran dan mencerdaskan umat dimanapun berada.
“Tidak perlu takut. Sepanjang kita sesuai aturan, insya Allah tidak akan terjadi kriminalisasi dan kami dari LBH Hidayatullah siap untuk mengawal para dai dan guru serta masyarakat luas yang sedang berhadapan dengan hukum,” ujarnya memungkas.
Pada webinar ini, turut hadir sebagai narasumber lain yaitu Dosen Hukum Universitas Wisnuwardhana Dr Dani Harianto SH MH, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Masa Bakti XXI (2013–2018) Dr H Didi Suprijadi MM. Acara dipandu oleh advokat yang juga dai pimpinan Pondok Pesantren Tahfidz Ashabul Kahfi Bekasi, Hidayatullah, SH. Untuk diketahui, Musyawarah Nasional V Hidayatullah akan digelar secara virtual pada 29 – 31 Oktober 2020, berpusat di Kota Depok, Jawa Barat, dan 34 titik lainnya di berbagai wilayah se-Indonesia.* (Ainuddin)