Hidayatullah.com- Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menyebut keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menerbitkan Perpres No. 7 Tahun 2021, yang di dalamnya terdapat program pelatihan masyarakat untuk kegiatan tak terduga yang tak terduga itu berlaku menjadi pasal karet, serta mudahnya terjadi hak asasi manusia (HAM). Termasuk, kata HNW, menimbulkan kecurigaan dan mengadu domba antar warga masyarakat.
“In The Attention Perpres It The Land of The Optimization The Government of the Publication in Prevention Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah kepada Terorisme, tetapi tidak ada yang utuh definisi yang disepakati soal apa itu ‘ekstremisme berbasis kekerasan’ serta apa itu konsep pemolisian masyarakat yang dimaksud,” kata Hidayat Nur Wahid lewat keterangan resminya, Jumat (22/1/2021).
“Jangan sampai ini jadi pasal karet yang menjadi justifikasi bagi masyarakat untuk hakim utama sendiri atau cepat lapor ke kepolisian tanpa bukti yang dibenarkan terhadap warga masyarakat yang lain. Hanya karena penilaian subjektif dituduh melakukan ekstremitas,” katanya.
Baca: Warga Dilatih Polisikan Terduga Ekstremisme, Ketua Persis: Jangan Salah Tangkap
Politisi PKS itu Indonesia adalah negara hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 harusnya menjadi acuan. Lalu UU tentang Terorisme dan UU tentang Pertahanan Negara yang sudah didefinisikan dengan jelas apa itu terorisme dan apa saja ancaman terhadap keamanan negara.
Salah satu prinsip negara hukum adalah proses hukum (proses hukum yang berkeadilan). Sehingga lanjut HNW segala celah yang dapat mendukung adanya tindakan hakim utama sendiri harus ditutup secara rapat.
Lebih lanjut HNW menuturkan, ketentuan yang dimaksud dengan pemolisian masyarakat adalah konsep perpolisian masyarakat (yang menciptakan kolaborasi antara polisi / penegak hukum dan komunitas masyarakat dalam identitas kejahatan), maka hal tersebut dapat berbahaya dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebab belum ada kesepahaman baik dari rujukan UU yang ada kesepakatan pembahasan di DPR mengenai istilah ekstremisme.
“Jangan sampai nanti ada kelompok yang gampang sekali disebut ekstrem, padahal sejatinya mereka hanya ingin menjalankan ajaran agamanya, atau mereka diframing sebagai melalukan ekstremisme hanya karena yang bersangkutan bukan dari kelompok politik maupun sosial yang satu kubu dengan pemerintah,” terangnya.
Lebih lanjut, Anggota Komisi VIII DPR RI ini menuturkan istilah ekstremisme itu kerap menjadi di DPR dalam proses pembahasan undang-undang, terutama yang berkaitan dengan terorisme. Pasalnya, bila mengungkapkan kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekstrem dapat diartikan sebagai ‘sangat keras dan teguh’ dalam pendirian.
“Sikap teguh pada pendirian itu kan tidak melulu bersifat negatif. Jadi, perlu didudukkan sesuai konteksnya,” imbuhnya.
Apalagi, HNW menambahkan, Perpres ini juga menimbulkan istilah baru, yakni ‘ekstremisme berbasis kekerasaan yang mengarah pada terorisme’, yang tidak ditemukan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi dasar hukum bagi Perpres tersebut.
“Ini istilah yang perlu dikaji dan dibahas secara mendalam, agar setiap orang paham dengan maksud dari istilah baru tersebut, dan tidak salah paham yang mengakibatkan kejadian kriminalisasi terhadap pihak lain,” paparnya. *