Hidayatullah.com- Sejumlah tokoh seperti Presiden Joko Widodo dan Menko Polhukam Mahfud MD melempar wacana akan merevisi Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Wacana revisi UU ITE karena dirasa tidak memberikan rasa keadilan akibat adanya pasal karet di dalamnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta, yang juga anggota Komisi I DPR RI, menyatakan mendukung rencana revisi UU ITE dalam rangka memberikan keadilan dan kenyamanan bagi rakyat.
“Rencana ini sejalan dengan pandangan kami yang beberapa tahun terakhir mengusulkan revisi UU ITE dalam RUU Prolegnas, meskipun kandas akibat kurangnya dukungan di parlemen. Karenanya, kami menyambut baik dan sangat setuju atas rencana revisi UU ITE. Dari sisi masyarakat hal ini tentu bisa memberikan rasa keadilan dan kenyamanan di masyarakat.
Meskipun dari sisi pemerintah sudah agak terlambat, karena apabila revisi nanti selesai dibahas antara pemerintah dengan DPR yang biasanya memakan waktu 1 hingga 2 tahun pembahasan, kemungkinan UU ITE yang sudah direvisi baru bisa diterapkan pada tahun 2023 atau 2024 di penghujung masa jabatan Presiden Jokowi. Jadi jangan sampai revisi UU ITE ini nantinya hanya move politik kosong belaka,” ujar Sukamta kepada hidayatullah.com, Selasa (16/02/2021) dalam keterangannya.
Menurut Sukamta, sebetulnya undang-undang ini sangat mulia pada awal pembahasannya dulu, untuk memberi kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi dan bisnis di dunia maya (elektronik). Waktu undang-undang ini disahkan menjadi UU RI No. 11 Tahun 2008 itu juga sebetulnya sudah dinilai terlambat, karena awal tahun 2000-an dunia internet sudah booming, tanpa ada aturan hukum yang secara pasti mengatur. Berjalan seiringnya waktu, ternyata UU ITE ini dalam implementasinya malah lebih kental nuansa hukum pencemaran nama baiknya daripada soal transkasi ekonomi-bisnisnya. Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dianggap pasal karet dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat, hingga banyak korban berjatuhan. Banyak orang dilaporkan, ditangkap, dan ditahan karena menyampaikan pendapatnya di internet.
Oleh karena itu, lanjut doktor lulusan Manchester ini, UU ITE direvisi menjadi UU RI No. 19 Tahun 2016. Saat itu beberapa hal direvisi seperti soal pemblokiran situs internet, right to be forgotten, penyadapan, penyidikan, dan termasuk pasal pencemaran nama baik yang dikurangi maksimal ancaman pidana penjaranya dari 6 tahun menjadi 4 tahun.
Fraksi PKS saat itu katanya meminta agar pasal pencemaran nama baik ditinjau ulang, bahkan kalau perlu dihapus saja, mengingat sudah diatur dalam KUHP, agar tidak ada duplikasi pengaturan. Hanya fraksi PKS dan PAN yang dianggap progresif pandangannya terhadap pasal tersebut.
Namun, Sukamta yang juga bertindak sebagai anggota Panja Revisi UU ITE saat itu, menjelaskan bahwa dalam dinamika pembahasan, mayoritas fraksi (terkhusus fraksi-fraksi pendukung koalisi pemerintah) menginginkan pasal tersebut tetap dipertahankan dengan pengurangan maksimal ancaman pidana penjara agar tidak ada lagi kriminalisasi dengan penahanan sebelum putusan hukum tetap dari pengadilan. Dan akhirnya disahkan revisi UU ITE seperti yang sekarang.
“Pada implementasinya, ternyata masih banyak proses hukum kasus pencemaran nama baik di lapangan yang tidak sesuai dengan spirit revisi tersebut. Malah terakhir kriminalisasi melebar ke pasal-pasal lain seperti pasal soal hoaks dan pasal keonaran yang juga dianggap pasal karet. Ya semoga ke depannya revisi UU ITE bisa memberikan kejelasan hukum berasaskan keadilan. InsyaAllah kami fraksi PKS akan mengawalnya demi masa depan dunia digital dan kedewasaan demokrasi kita,” ujar wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Sebelumnya diketahui, Presiden Jokowi menyebutkan semangat awal UU ITE sedianya untuk menjaga agar ruang digital Indonesia sehat dan produktif. Tapi ia tidak ingin UU ITE justru menimbulkan rasa tidak adil dalam penerapannya.
Presiden pun membuka peluang untuk merevisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Jokowi pun ingin menghapus pasal-pasal karet dalam UU ITE.
Pada Rapat Pimpinan TNI-Polri disiarkan di YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/02/2021), Jokowi telah meminta Polri agar lebih berhati-hati dalam menggunakan UU ITE. Presiden meminta Polri lebih teliti dalam mengkaji pasal-pasal karet pada UU tersebut.
Presiden meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar merumuskan aturan penafsiran UU ITE. Presiden berharap penafsiran tersebut bisa mencegah dampak buruk dari pasal-pasal karet UU ITE.*