Hidayatullah.com–Setiap lembaga negara, termasuk partai politik (Parpol) harus memiliki pengawas internal sekaligus eksternal yang mengawasi perilaku para pejabat publik dari pelanggaran etika. Ketentuan itu menurut Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir, independensi lembaga pengawas saat ini masih dipertanyakan, baik kinerja maupun para individu yang duduk sebagai pengawas.
Adies menyampaikan hal ini saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI bertajuk ‘Sinergi Penegakan Etika Kelembagaan: Penguatan Kualitas Perilaku Etis dan Kapasitas Penegakan Etika Pejabat Publik Melalui Peran Partai Politik’, di Jakarta, Senin (22/03/2021).
Di hampir lembaga negara, baik legislatif, yudikatif, dan eksekutif masing-masing sudah memiliki pengawas. Masalahnya, lembaga pengawas kerap berjalan sendiri-sendiri.
“Baik buruknya bangsa ini ditentukan oleh kita, para pejabatnya. Diperlukan pengawas di setiap lembaga, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Di beberapa lembaga sudah ada yang mengawasi pelanggaran etika. Yang jadi pertanyaan apakah independensi lembaga-lembaga pengawas internal tersebut bisa dipercaya. Apakah juga mereka yang dipercaya itu sudah bisa memegang amanah,” kata Adies.
Adies menyebut, di yudikatif ada Komisi Yudiasial (KY), di kejaksaan ada Komisi Kejaksaan (Komjak), dan kepolisian ada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Ini adalah pengawas eksternal. Masalah yang selalu muncul, sambung politisi Partai Golkar ini, produk keputusan-keputusan yang dihasilkan para pengawas eksternal ini dijalankan lembaga negara secara konsekuen atau tidak.
“Di sinilah diperlukan lembaga etik yang terintegrasi antara kode etik internal dan eksternal,” ungkap Adies dalam paparannya pada seminar tersebut. Belum semua lembaga negara punya pengawas eksternalnya. Namun pengawas eksternal juga kerap jalan sendiri tanpa koordinasi. Di KPK, misalnya, ada Dewan Pengawas (Dewas) yang SOP-nya saja belum diatur.
“Kalau kita di partai sudah ada UU Parpol yang mengatur. Mahkamah partai juga keputusannya final dan mengikat. Sesuatu yang sudah masuk ke lembaga etik atau mahkamah partai biasanya kalau dilempar ke pengadilan akan ditolak, karena dinilai masalah internal partai,” imbuhnya, dan lembaga DPR-lah yang paling terbuka dengan sistem pengawasannya.
“Lembaga DPR ini sudah seperti etalase. Tidak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi. Kalau ada yang melanggar atau ‘bermain’ di Banggar, misalnya, gampang sekali dicari buktinya. Lapor ke MKD, selesai orang ini,” tambah legislator dapil Jawa Timur I itu.*
Baca juga: Di Hadapan Kemendikbud dan Kemensos, Komisi 10 DPR RI Ingatkan Pentingnya UU Psikologi