Hidayatullah.com- Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, pemerintah menetapkan kenaikan iuran Badan Penerima Jaminan Sosial, (BPJS) yang akan diberlakukan per 01 April 2016 mendatang, demi menutup defisit operasional yang mencapai lebih dari Rp 7 triliun, sejak 2014.
Terlepas soal defisit, kebijakan menaikkan tarif iuran BPJS untuk peserta mandiri adalah kebijakan yang kontra produktif dan tidak mempunyai empati, di saat sedang lesunya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat.
“Sampai detik ini BPJS belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas, sehingga hampir di semua lini pelayanan BPJS masih sangat mengecewakan masyarakat,” demikian pernyataan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi dalam siaran persnya yang diterima redaksi hidayatullah.com, Ahad (13/03/2016).
Menurutnya, masih banyak pasien yang ditolak opname di rumah sakit tanpa alasan yang jelas. Sekalipun diterima rumah sakit, tegasnya, service rumah sakit terhadap peserta BPJS sangat timpang dibanding dengan peserta non BPJS.
“Dan seabreg kekecewaan seperti obat tertentu yang tidak ditanggung, dan antrian panjang, hingga pasien menjemput ajal karena belum ada tindakan medis,” imbuhnya.
Dikatakan Tulus, kenaikan tarif BPJS juga merupakan pelanggaran prinsip kegotongroyongan yang menjadi “jiwa” asuransi sosial dalam BPJS. Jika tarif BPJS terus dinaikkan, apa bedanya BPJS dengan asuransi komersial? Kenaikan iuran BPJS bisa dikategorikan melanggar nawacita.
“Kalaupun pemerintah ingin menaikkan iuran BPJS, seharusnya yang dinaikkan adalah peserta PBI, yang menjadi tanggungan negara,” cetusnya.
Menurutnya, pemerintah harus menambah besaran iuran PBI, sebagai tanggungjawab konstitusional negara, bahwa kesehatan adalah hak asasi warga negara. Seharusnya pemerintah justru berterima kasih pada peserta BPJS mandiri, bukan malah mengeskploitasinya dengan menaikkan tarif.
“Pemerintah bisa saja menggunakan separuh dari dana cukai rokok yang diperolehnya,” imbaunya.
Tulus meminta kepada managemen BPJS dan juga pemerintah supaya tidak beranggapan bahwa setelah ada BPJS bukan serta merta masyarakat mengeluarkan belanja kesehatan untuk BPJS saja, tetapi juga yang lainnya. Bahkan, masyarakat lebih banyak mengeluarkan budget kesehatan (fee for service), sebagai akibat masih buruknya pelayanan BPJS.
Menurutnya, berapapun iuran yang diberikan BPJS, maka finansial BPJS akan tetap defisit, bahkan jebol jika belum ada perbaikan fundamental yakni memperbaiki perilaku hidup sehat masyarakat (dengan tindakan preventif promotif), dan juga mengembalikan distrust (ketidakpercayaan) masyarakat pada pelayanan kesehatan tingkat dasar.
“Karena itu, YLKI mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS, dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut,” tutupnya.*