Hidayatullah.com–Program Virtual Police atau Polisi Siber yang sudah berjalan sejak Februari telah mencatat adanya 189 konten media sosial yang diduga telah melanggar tindak pidana melakukan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Update periode 23 Februari sampai 19 Maret 2021 menunjukkan 189 konten yang diajukan untuk diberikan peringatan virtual police,” tutur Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (23/03/2021).
“105 Konten dinyatakan lolos verifikasi atau memenuhi unsur ujaran kebencian, sedangkan 52 tidak lolos verifikasi, dan 32 konten dalam proses verifikasi,” lanjut Ahmad.
Seperti dikutip dari Antara, berdasarkan data dari Polisi Siber Bareskrim Polri pada periode 23 Februari hingga 11 Maret 2021, ada 125 konten di media sosial yang diajukan untuk diberi peringatan oleh ‘virtual police’.
Total 125 Konten tersebut bukan hanya dari satu platform medsos, Twitter 79 konten, Facebook 32 konten, Instagram 8 konten, YouTube 5 konten, dan WhatsApp 1 konten. “Jadi yang banyak itu melalui Twitter,” kata Ahmad Ramadhan di Mabes Polri Jumat (12/03/2021) lalu.
Dari 125 konten di medsos tersebut hanya 89 konten dinyatakan lolos verifikasi (memenuhi unsur ujaran kebencian) untuk diberikan peringatan Polisi Siber melalui pesan langsung (direct message). Sedangkan, 36 konten sisanya tidak lolos verifikasi.
Dari 89 konten tersebut, sebanyak 40 konten dalam proses pengiriman peringatan pesan langsung, 12 konten dalam proses peringatan pertama, 9 konten peringatan kedua, 7 konten tidak terkirim, dan 21 konten gagal terkirim karena akun tersebut hilang atau dihapus sebelum diberikan peringatan oleh virtual police. “Jadi belum sempat diperingati kontennya hilang, ‘hit and run’ itu namanya,”ujar Ahmad
Dalam proses peringatan ini, pihak Bareskrim Polri telah meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE. Dengan demikian, peringatan virtual dilakukan atas pendapat ahli, bukan pendapat subjektif penyidik Polri.
Akun yang diduga mengunggah konten hoaks maupun ujaran kebencian dikirimkan pesan peringatan dua kali untuk menghapus konten yang mereka posting. Jika postingan tidak kunjung dihapus oleh pengunggah/pemilik akun, penyidik akan kembali memberikan peringatan virtual.
Bila tidak dihapus maka pengunggah/pemilik akun akan dipanggil untuk dimintai klarifikasi. Dengan adanya program ini masyarakat diharap bisa berpikir dua kali sebelum menyebarkan hoaks atau konten yang mengandung fitnah dan ujaran kebencian melalui platform apapun.
“Mudah-mudahan dengan adanya ‘virtual police’ ini, masyarakat akan sadar. Bisa jadi karena sebagian tidak tahu. Ketika masyarakat yang kena teguran, disampaikan ke teman-temannya. Jadi harapan kita mereka bisa berbagi pengalaman ke saudaranya untuk tidak sembarangan sebarkan kebencian di media sosial,” terang Ahmad.
Sebelumnya, Mabes Polri meluncurkan program baru yang diberi nama Virtual Police. Lewat program ini, Polri akan memantau aktivitas masyarakat di dunia maya. Apabila seseorang didapati membuat konten yang terindikasi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maka akan diberikan teguran.
Program ini akan mengedepankan edukasi kepada pengguna media sosial. Oleh karena itu, akun yang diduga melanggar ditegur menggunakan akun resmi Polri. Dengan begitu, pelanggar diharapkan bisa memyadari akan kesalahannya dan tidak mengulang kesalahannya.
Virtual Police dibuat mengacu kepada Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Surat Edaran itu bernomor: SE/2/11/2021 ditandatangani langsung oleh Sigit pada Jumat (19/02/2021).
Dalam Surat Edaran berisi penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.*