Hidayatullah.com- Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyatakan bahwa kamus kontroversial terbitan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI berjudul Kamus Sejarah Indonesia Jilid I & II tetap beredar, bahkan diperjualbelikan di toko daring (online shop).
“Padahal kata Mas Menteri (Nadiem) dan Dirjen (Kebudayaan) sudah ditarik, tapi percuma karena sudah beredar di masyarakat, kecuali dilarang,” ujar Fikri menanggapi polemik tersebut di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (22/04/2021) dalam keterangannya diterima hidayatullah.com.
Ia pun menyayangkan tetap beredarnya kamus tersebut. Kamus Sejarah Indonesia Jilid I & II terbitan Kemendikbud itu, jelasnya, mudah ditemui di olshop semudah mengklik di mesin pencari di internet. “Jadi ini seperti mau menghapus kesalahan, tapi dosanya terlanjur menjalar kemana-mana,” ucap Fikri.
Di sisi lain, Fikri mengungkap keanehan soal penerbitan Kamus Sejarah Indonesia Jilid I & II yang katanya akibat ‘ketidak-sengajaan’ pihak Direktorat Sejarah Kemendikbud itu. “Bagaimana bisa, katanya belum siap diedarkan, tapi kok sudah terbit ISBN,” kata Fikri.
ISBN (International Standard Book Number) atau angka standar buku internasional, jelas Fikri, adalah kode pengidentifikasian terdiri atas deretan angka 13 digit yang bersifat unik, yang menjadi pembeda dengan ISBN pada buku lain. ISBN berisi informasi tentang judul, penerbit, dan kelompok penerbit tercakup dalam ISBN.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 2017 tentang Perbukuan, Pasal 30 ayat (f) yang dikutipnya menyebut, penerbit berkewajiban mencantumkan angka standar buku internasional (ISBN). Dan pasal 48 ayat (b) menyebut, buku baru dapat diterbitkan setelah mencantumkan angka standar buku internasional (ISBN), sebagaimana pasal 30 ayat (f) tersebut.
“Hal ini menunjukkan kamus jilid I & II ini sudah siap terbit, bukan tidak disengaja atau masih naskah,” imbuh Fikri menyindir pernyataan Kemendikbud sebelumnya.
Ia menambahkan, dalam halaman utama Kamus Sejarah Indonesia tercantum informasi nama-nama pengarah, narasumber, editor, pembaca utama, penulis, penerbit dan lain-lain. Sebagai Pengarah tercantum Hilmar Farid (Direktorat Jenderal Kebudayaan) dan Triana Wulandari (Direktur Sejarah). Tercantum sebagai penerbit adalah Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan nomor ISBN: 978-602-1289-76-1.
Politisi PKS ini menyatakan, setelah sebelumnya Mendikbud dan Dirjen Kebudayaan mengakui adanya kesalahan atas penerbitan buku tersebut, sebaiknya Kemendikbud mulai melakukan pembersihan ‘dosa’. “Segera larang peredarannya, karena sangat meresahkan, bila tidak dilarang, berarti memang benar demikian isi buku tersebut” ujar Fikri.
Seperti diketahui, jelasnya, Kamus Sejarah Indonesia terdiri atas dua jilid. Jilid I dengan sub-judul Nation Formation (1900-1950) dan Jilid II :Nation Building (1951-1998). Namun disayangkan, tokoh penting nasional yang sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asyari tidak ada dalam entry khusus (yang disusun secara alfabetis) dalam kamus tersebut. Demikian pula dengan kiprah proklamator RI, Soekarno & M. Hatta, tidak ditemukan dalam entry alfabetis di dalam Kamus Jilid II.
Fikri mengajak semua elemen negeri ini untuk bersama meluruskan sejarah bangsa yang mulai dicemari upaya pembelokan dan penghilangan sejarah, terutama kiprah KH Hasyim Asyhari.
“Bila tanpa adanya fatwa jihad dari Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari pada waktu itu, Bung Tomo, dan puluhan ribu rakyat Surabaya tidak mungkin bertempur gagah berani dengan satu semboyan: merdeka atau mati, karena ulama adalah tokoh paling ditaati saat itu,” urainya.
Fikri menilai, kamus sebagai referensi pengetahuan yang sudah berani menghilangkan salah satu tokoh kunci pahlawan pejuang kemerdekaan, akan sangat menyesatkan keilmuan bagi anak bangsa ke depannya. “Kemendikbud adalah leading sector yang paling bertanggungjawab dalam upaya perbaikan literasi, terutama literasi sejarah.”
Sementara sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) turut menyoroti isi Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan II yang beredar dan dibuat berdasarkan arahan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan Direktur Sejarah Kemendikbud Triana Wulandari tersebut.
Kata HNW, sejumlah pihak yang tercatat pernah memberontak dan memecah belah bangsa Indonesia justru ada di dalam Kamus Sejarah Indonesia tersebut.
Misalnya, kata dia, tokoh-tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti Alimin, Semaun, Musso, Amir Syarifuddin, DN Aidit malah disebut.
“Bahkan, Bapak Komunis Asia Tenggara Henk Sneevliet yang sukses memecah belah Sarekat Islam menjadi putih dan merah justru dicantumkan, termasuk organisasinya, ISDV. Apakah peran mereka yang memecah belah perjuangan Bangsa dan memberontak terhadap Pemerintah Indonesia yang sah lebih penting di mata Dirjen dan Direktur Sejarah Kemendikbud, ketimbang peran tokoh-tokoh Bangsa dari Umat Islam yang telah menghadirkan Indonesia Merdeka dan mempertahankan Indonesia Merdeka dengan NKRI-nya?,” ungkap HNW mempertanyakan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/04/2021).
Terkait hal ini, HNW membandingkan penjelasan mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) dibanding partai-partai lainnya atau ormas Islam. Sebab, PKI mendapat porsi lebih besar dari partai lain dan ormas Islam.
“PKI dijelaskan dalam 2,5 halaman (halaman 177-179), sedangkan PNI hanya satu halaman lebih sedikit (halaman 179-180). Bahkan, NU juga hanya dijelaskan dalam 1 halaman lebih sedikit (halaman 157-158), sedangkan Muhammadiyah hanya 0,5 halaman (halaman 55) dan begitu pula Partai Masyumi yang melalui pimpinannya M Natsir, berhasil kembalikan RIS menjadi NKRI juga hanya disebutkan 0,5 halaman,” bebernya yang mengaku telah membaca kamus tersebut.
Ia pun menilai hal itu bisa berpotensi menjadi informasi yang salah. Apalagi PKI telah dinyatakan sebagai partai terlarang dan dibubarkan oleh hukum di Indonesia.*