oleh: Muh. Zaitun Rasmin
Hidayatullah.com | PADA pada 1 Muharram 1443 Hijriah organisasi Hidayatullah memasuki masa setengah abad, yang dikenal sebagai usia emas. Sejarah kelahiran dan perkembangan ormas Islam tersebut tidak dapat dipisahkan dari nama besar KH. Abdullah Said rahimahullah.
Beliau, yang dibantu sejumlah pemuda muslim bersemangat tinggi, pada 1971 membangun sebuah ponpes ‘darurat’ di tengah hutan Kalimantan. Dari ponpes ‘darurat’ (secara fisik) itulah, semangat dakwah dan tarbiyah digelorakan para santri beliau ke seluruh penjuru Indonesia.
Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Dr. Adian Husaini, MA., bersyukur atas keberhasilan para santri KH. Abdullah Said dalam memajukan dakwah dan tarbiyah, sehingga Hidayatullah bisa disejajarkan dengan ormas-ormas Islam yang lahir terlebih dahulu puluhan tahun silam. (adianhusaini.id, 8/8/2021).
Kini, semangat dakwah dan tarbiyah Hidayatullah telah dijadikan teladan oleh sejumlah lembaga yang lebih ‘muda’, salah satunya Wahdah islamiyah, untuk turut membumikan ajaran Nabi Muhammad ﷺ di seluruh penjuru Indonesia, bahkan dunia. Masih sangat banyak umat muslim yang membutuhkan pembinaan dari para da’i, agar mereka dapat memahami dan merealisasikan Islam secara murni sesuai yang telah diajarkan Rasulullah ﷺ.
Tidak sedikit pula umat non-muslim yang ingin diajak berdialog oleh para da’i, agar mereka lebih mengenal Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Suatu kebahagiaan jika ada di antara mereka yang kembali kepada Islam, setelah diajak berdialog secara sejajar dengan para da’I, atau minimal mereka bersimpati kepada Islam, meskipun belum diberi hidayah untuk memeluk agama ini.
KH. Abdullah Said berharap agar Hidayatullah dan lembaga-lembaga dakwah lainnya dapat ‘menerjunkan’ sebanyak mungkin da’i berkualitas yang diterima secara luas oleh jutaan, bahkan milyaran penduduk dunia ini. Tentang kualitas da’i, ada banyak point penting yang telah diwasiatkan KH. Abdullah Said.
Wasiat-wasiat tersebut banyak disampaikan secara lisan melalui mimbar-mimbar ceramah, juga tidak sedikit yang dituliskan secara random maupun berseri pada rubrik Sistematika Wahyu majalah Suara Hidayatullah. Namun dalam tulisan ini hanya disebutkan satu point wasiat saja: da’i harus rajin membaca.
Dalam rubrik Sistematika Wahyu yang ditulis pada tahun-tahun awal Suara Hidayatullah, KH. Abdullah Said menilai, bahwa begitu pentingnya aktivitas membaca bagi umat akhir zaman yang dipimpin Nabi Muhammad ﷺ, hingga Allah swt. menurunkan wahyu pertama-Nya berupa anjuran untuk membaca. (QS. al-Alaq : 1 – 5).
Menurut beliau, dunia dakwah sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan budaya membaca. Para ulama kita memiliki kedalaman ilmu dan keluasan wawasan karena waktunya diluangkan untuk membaca.
Karena jika menggunakan waktu luang untuk membaca, maka hal tersebut tidak akan pernah bisa dilakukan. Sebab pada umumnya da’i sangat sibuk berdakwah dan menunaikan berbagai aktifitas penting (seperti bekerja mencari nafkah) yang diamanahkan kepadanya.
Jika para nabi dan rasul berwawasan luas karena dibimbing langsung oleh Allah swt. melalui wahyu-Nya, maka da’i yang bukan nabi dan rasul harus rajin membaca kitab suci-Nya dan kitab-kitab penunjang karya para ulama yang secara estafet komunikasinya ber-sanad hingga kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Dengan rajin membaca, seorang da’i akan menyerap banyak informasi yang nantinya dapat dijadikan sebagai data penting untuk menyampaikan ceramah secara lisan maupun tertulis. Tidak hanya mendorong para santrinya untuk rajin membaca, aktivitas tersebut juga dicontohkan sendiri oleh KH. Abdullah Said.
Bahkan beliau juga rajin membaca buku-buku maupun media-media cetak lainnya dengan tema yang (pada era 1960-an hingga wafatnya beliau pada 1997) tidak ada hubungan langsung dengan dunia dakwah, seperti buku tentang sepakbola. Beliau tidak hanya rajin membeli berdus-dus buku dalam sekali transaksi, tetapi semua buku tersebut juga dibacanya. (Shalbu, 2005; Utomo, 2018). Beliau juga rajin membaca majalah pertanian Trubus, sehingga pernah ditanya oleh seorang santrinya, apakah beliau ingin juga menjadi petani. (Nurhidayat, 2018).
Ternyata saat ini tema-tema yang dulu ‘jauh’ dari bidang dakwah (seperti sepabola), kini seakan sudah bisa menyatu, seiring dengan banyaknya bintang sepakbola dunia yang diberi hidayah untuk kembali memeluk Islam. Apalagi tidak sedikit pula bintang sepakbola muslim asal Afrika dan Timur Tengah yang dikagumi umat non-muslim Eropa karena keluhuran adab mereka. Sehingga dakwah pun bisa dihidupkan pada komunitas bola mania.
Ulama besar Mesir, Syekh Hasan al-Banna dalam buku memoar-nya menganjurkan para da’i untuk setiap hari membaca minimal satu buku di luar bidang yang digeluti mereka. Seperti da’i yang berpendidikan sarjana ilmu sosial, dianjurkan untuk membaca buku ilmu teknik elektro maupun ilmu lainnya. Sebab setiap bidang ilmu dapat dimanfaatkan untuk memperjuangkan Islam. (Rosa, 1999).
Rajin membaca seakan tidak dapat dipisahkan dari pribadi para intelektual sejati Islam yang nantinya akan menjadi tokoh berpengaruh di tingkat nasional maupun internasional. Di Indonesia, para ulama besar abad ke-20 yang sebagian umat muslim menobatkan mereka sebagai tokoh pembaharu (mujaddid), seperti KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH. Ahmad Hassan (Persis), KH. Hasyim Asy’ari (NU), KH. Moh. Natsir (DDII), dan para intelektual lainnya dikenal rajin membaca sejak muda.
Di lapangan dakwah, memang terdapat perbedaan kualitas dapat dilihat secara jelas oleh umat, antara da’i yang rajin membaca dan da’i yang (maaf) belum rajin membaca. Semoga dengan mengingat satu saja wasiat KH. Abdullah Said tentang anjuran untuk rajin membaca, para da’i dan calon ulama diberi kemudahan oleh Allah swt. dalam membimbing umat meraih kejayaan di dunia dan akhirat. Wallahua’lam.*
Ketua Umum Wahdah Islamiyah dan Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat