Hidayatullah.com — Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) mengirimkan berbagai kritik untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Nadiem Makarim selaku orang yang ditunjuk menjadi menteri dinilai tidak mampu mengatasi darurat pendidikan akibat pandemi Covid-19.
“Sejak pandemi melanda Indonesia Maret 2020 sampai hari ini, Nadiem tidak bisa mengatasi masalah pendidikan, malah sebaliknya, membuat ketimpangan semakin terjadi,” tulis keterangan rilis PB PII yang diterima Hidayatullah.com, Selasa (14/09/2021).
Di sektor pendidikan, kebijakan yang muncul adalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), yang dirasa aman, namun hal ini tidak diikuti dengan penyelesaian masalah sarana prasarana penunjang pembelajaran. Misalnya tidak diikuti kebijakan untuk menyelesaikan wilayah-wilayah yang tidak ada jaringan, masyarakat yang tidak bisa membeli handphone, beli kuota dan seterusnya.
“Pada akhirnya kebijakan yang muncul (PJJ) justru membuat pendidikan kita semakin timpang,” tulis rilis tersebut.
Belum lama ini, Nadiem membuat kebijakan bagi-bagi laptop dengan anggaran Rp17 triliun. PB PII berharap, penggunaan anggaran yang besar tersebut tidak mengendap dan melebar kemana-mana. Dan meminta KPK mengawasi dengan ketat penggunaan anggaran tersebut agar tepat sasaran.
Menurut PB PII uang Rp17 triliun untuk kebijakan bagi-bagi laptop dirasa kurang tepat. Berdasarkan data dari Kominfo, masih ada 11% wilayah Indonesia yang tidak teraliri sinyal internet.
Berdasarkan sumber yang sama, 12.548 desa belum tersentuh jaringan internet. Anggaran sebesar itu baiknya digunakan untuk mengatasi masalah dasar, pengadaan jaringan internet dan listrik.
Kebijakan bagi-bagi laptop ternyata hanya untuk masyarakat yang memiliki jaringan internet dan teraliri listrik. Jangan sampai kebijakan ini terkesan memanjakan kelompok masyarakat menengah atas perkotaan dan menindas masyarakat kebawah di pedesaan.
“Bagaimana dengan masyarakat di pelosok wilayah-wilayah yang belum teraliri listrik dan jaringan?,” tanya PB PII.
Lebih lanjut PB PII menolak Permendikbud Ristek no 6 tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler pasal 3 ayat 2 (d) berbunyi “memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir”.
PB PII menilai, kebijakan ini diskriminatif terhadap sekolah tidak memenuhi 60 siswa dalam 3 tahun terakhir. Apakah mereka tidak bisa mendapatkan dana BOS?
“Seharusnya ini menjadi perhatian oleh pemerintah untuk mendukung pendidikan harus dilaksanakan seluruh warga negara dengan merata, sehingga pembatasan 60 siswa ini harusnya di tolak. PB PII menolak pembatasan tersebut,” tegasnya.
Pandemi juga berdampak pada sektor ekonomi, yang berakibat pada banyaknya masyarakat yang tidak bekerja. Hal ini menjadi salah satu faktor, orang tua mahasiswa mengeluhkan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dirasa oleh orang tua/wali masih tinggi dan mahal.
PB PII berharap niat baik Menteri untuk meringankan beban pendidikan kepada orang tua/wali demi berlangsungnya jenjang pendidikan yang baik.
Selain itu PB PII mendukung dengan pemberlakuan Pembelajaran Tatap Muka (PTM), kebutuhan PTM dianggap perlu untuk segera dilakukan, mengingat sudah lebih tiga semester Pendidikan mengalami Learning Loss. PB PII berharap, ada jaminan kesehatan bagi pelajar mengingat hanya ada jaminan kesehatan bagi pendidik. Namun tidak bagi peserta didik.
PB PII khawatir terhadap kondisi pendidikan yang sudah learning loss, tidak ada pelajaran tatap muka, sehingga mengakibatkan kekhawatiran pada generation loss. Jika itu berkelanjutan, maka masa depan bangsa akan terancam. Hal ini bertentangan dengan sila ke 5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan pendidikan harus merata dan berkeadilan.