Hidayatullah.com — Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menjelaskan bahwa manusia dalam melakukan amal di dunia ada dua macam, yaitu amal untuk hidup di dunia dan amal untuk bekal di akhirat kelak.
Menurut Kiai Miftach, amal untuk dunia harus dilakukan dengan santai, jangan terlalu berambisi, sementara amal untuk bekal akhirat harus dengan sesegera mungkin. “Jadi, kalau soal akhirat, seperti lari maraton. Tapi urusan dunia, seperti hidup selamanya, ya tenang,” kata Kiai Miftach saat ngaji kitab Al-Hikam yang disiarkan TVNU, seperti dilansir situs NU Online, Kamis (14/10/2021).
Menurut Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ini, prinsip itu berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi i’mal li duniâka ka annaka ta’îsyu abadan wa’mal li âkhirataka ka annaka tamûtu ghadan (bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi).
Kiai Miftachul Akhyar menjelaskan, maksud ‘bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya’ adalah dalam persoalan pekerjaan duniawi, harus dilakukan pelan-pelan, tidak usah terburu. Seolah-olah akan hidup selamanya. Karena seakan hidup selamanya, maka masih banyak waktu untuk melakukan pekerjaan duniawi.
“Artinya tidak ngoyo (terlalu berambisi). Sekarang ada (masih hidup), besok masih ada (masih hidup), satu tahun, dua tahun, sepuluh tahun masih ada (masih hidup). Nggak ngoyo. Kalau belum hasil tahun sekarang, ya tahun depannya,” paparnya.
Sementara yang dimaksud ‘bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi’ adalah agar dalam beramal untuk bekal akhirat, dikerjakan dengan sesegera mungkin. Ibarat orang akan mati esok hari, maka sebelum ajalnya menjemput, secepat mungkin melakukan amal untuk bekal di akhirat.
“Kalau saya mati besok, wah, bagaimana (nasib) anak-anakku, bagaimana tinggalanku, nggak cukup. Akhirnya dia semangat, tidak menunda-nunda amal wajibnya. Karena dia telah menganggap seakan-akan dia mati,” jelas ulama kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu.
Kiai Miftach melanjutkan, prinsip ini diperkuat oleh Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77, yaitu wa lâ tansa nashîbaka minadduniâ wa aḫsin kamâ aḫsanallâh. Dan janganlah kamu melupakan bagian dari (kenikmatan) duniamu dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. “(Kata) ‘jangan lupa’ (lâ tansa) di sini berarti dunia bukanlah pokok. Yang pokok itu akhirat. Karena kita itu makhluk proyeksi akhirat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Pada kesempatan itu, Kiai Miftach juga menjelaskan, jika seseorang sudah mampu mengamalkan prinsip bekerja seperti itu, yaitu tidak berambisi dalam pekerjaan dunia dan mampu menyegerakan amal untuk bekal akhirat, maka bisa menjalani hidup dengan istikamah dalam bekerja mencari rizki. Jika sudah istikamah, maka hasil rizkinya berkah dan tidak disangka-sangka.
“Karena istikamah inilah yang akan datang keberkahan hidup. Rizkinya datang tanpa disangka-sangka. Orang paling senang itu kalau dapat rizki yang tidak disangka-sangka,” ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Miftahus Sunnah, Surabaya itu.
Hanya saja, lanjut Kiai Miftach untuk mendapatan rizki yang tidak disangka-sangka, seseorang tidak boleh terlalu terikat oleh dunia. “Hati kita ini masih ada hubungan kuat dengan dunia, makannya rizki min ḫaitsu la yaḫtasib (tidak disangka-sangka) nggak datang-datang,” jelasnya.
Selain mempersulit rizki, lanjut Kiai Miftach ketergantungan berlebih pada dunia juga menyebabkan ibadah tidak khusyuk. Alasannya, dunia itu isinya kesenangan, sementara kesenangan itu ibarat anaknya setan. “Kalau yang disenangi setan itu kamu ganggu, setan tidak akan membiarkan (untuk mengganggu kekhusyukan ibadah),” pungkasnya.*