Hidayatullah.com — Media asing merilis artikel yang menyoroti suara azan di masjid-masjid Jakarta. Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Buya Anwar Abbas mempertanyakan motif dari rilisan media tersebut.
“Kalau yang mereka kritik itu suara azan dan mereka minta supaya jangan ada suara azan wah ini berat masalahnya. Karena ini jelas-jelas mengusik masalah ibadah dan keyakinan umat Islam,” kata Buya Anwar Abbas kepada SINDOnews, Jum’at (15/10/2021).
Ketua DPP Muhammadiyah ini juga menduga ada paham-paham tertentu yang memprovokasi. Sehingga, sambungnya, suara azan yang selama ini berkumandang dipersoalkan.
“Kalau memang masalah azan tersebut yang mereka persoalkan maka saya berkeyakinan dibelakangnya saya perkirakan adalah orang-orang yang punya pandangan komunistik atheistik dan sekuleristik yang memang memusuhi dan benci terhadap agama terutama agama Islam,” tambahnya.
“Tapi kalau yang mereka persoalkan adalah suara-suara yang dipancarkan melalui loudspeaker sebelum kumandang azan ya itu bisa diatur dan bisa dibicarakan,” sambungnya.
Agence France-Presse (AFP), agensi berita internasional yang berpusat di Paris, Prancis, menyoroti suara azan di Jakarta dalam laporannya yang berjudul ‘Ketakwaan atau gangguan kebisingan? Indonesia mengatasi reaksi volume azan’.
Dalam laporan AFP, seorang warga yang menderita gangguan kecemasan mengklaim terlalu takut untuk komplain.
AFP sendiri menuliskan, azan dan masjid adalah dua hal yang dihormati di Indonesia, negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Mengkritisi azan dan masjid, ungkap media tersebut, bisa berujung pada tuduhan penistaan agama dengan ancaman 5 tahun penjaraan.
AFP juga mengklaim komplain secara daring (online) soal pengeras suara yang berisik sudah mulai meningkat. Namun, menurut AFP, kebanyakan anonim karena pelapor khawatir dengan akibat yang ditimbulkan gara-gara komplain seperti itu.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) telah mengerahkan tim untuk mengatasi tata suara (sound system) masjid di seluruh Indonesia. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan mengatur soal tingkat kebisingan, termasuk untuk di tempat ibadah.
Tingkat kebisingan diukur dengan satuan desibel (dB). Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan.
Baku tingkat kebisingan atau batas maksimal kebisingan diatur dalam lampiran Kepmen era Orde Baru itu. Baku tingkat kebisingan dibagi-bagi berdasarkan kategori-kategorinya.
“Tempat ibadah atau sejenisnya 55 dB,” demikian diatur dalam Kepmen ini.
Keputusan Menteri itu tidak merinci tingkat kebisingan tempat ibadah yang dimaksud, apakah hanya tingkat kebisingan di dalam ruangan atau tingkat kebisingan dari tempat ibadah yang terpancar ke luar ruangan.
Sebagai perbandingan, suara orang mendengkur keras bisa mencapai 60 dB sampai 80 dB. 55 dB sendiri dianggap merupakan tingkat suara yang tak terlalu lantang.*