Hidayatullah.com — Pegiat anti-korupsi mendorong Presiden Joko Widodo untuk bersikap atas dugaan konflik kepentingan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir pada bisnis tes PCR melalui PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).
Peneliti senior Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan lembaga penegak hukum juga harus segera mengusut dugaan ini karena menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Melansir laman Suara.com, menurut Zainal dugaan konflik kepentingan ini tidak hanya bermasalah secara hukum, namun juga menyalahi etika kedua menteri sebagai pembuat kebijakan terkait pandemi.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit tata kelola bisnis PCR di Indonesia. Permintaan tersebut mereka sampaikan langsung ketika mendatangi kantor BPK pada Selasa (09/11/2021) bersama sejumlah lembaga lainnya yakni Indonesian Audit Watch (IAW), Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta, serta Petisi 28.
GSI merupakan perusahaan pengelola laboratorium tes PCR yang berdiri sejak 2020. Semenjak pendiriannya, GSI telah melakukan lebih 700 ribu tes usap. Didalam struktur kepemilikan sahamnya, perusahaan milik Luhut yakni PT Toba Sejahtera dan PT Toba Bumi Energi tercatat memiliki 242 lembar saham di PT GSI yang bernilai Rp242 juta.
Selain itu, Yayasan Adaro yang merupakan organisasi nirlaba di bawah PT Adaro Energi Tbk juga mengantongi 485 lembar saham GSI. Presiden Direktur Adaro Energi ialah Garibaldi Thoir, yang merupakan kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir.
Zainal berpendapat keterkaitan Menteri Luhut dan Erick Thohir dengan PT GSI jelas menunjukkan potensi konflik kepentingan. Apalagi soal kebijakan pemerintah yang sempat mewajibkan tes PCR sebagai syarat perjalanan di dalam negeri berpotensi menguntungkan bagi kepentingan bisnis kedua menteri tersebut. Terlebih Luhut saat ini juga dimandatkan menjadi Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali.
Zainal menuturkan pejabat negara seharusnya tidak menerbitkan kebijakan yang berisiko memiliki konflik kepentingan dan menguntungkan dirinya sendiri maupun orang lain. Aturan terkait hal ini tertuang dalam Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Tidak hanya itu, Dia mengatakan Luhut dan Erick telah melanggar etika sebagai pejabat publik yang banyak terlibat dalam kebijakan penanganan pandemi. Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara pun diminta mempertanggungjawabkan konflik kepentingan yang terjadi dalam lingkup kabinetnya ini.
Menurutnya, Presiden Jokowi berkewajiban menegakkan kembali etika yang dilanggar kedua menterinya. “Secara etika, pejabat yang bersangkutan harusnya merasa, paling tidak presidennya harus merasa bahwa kebijakan itu memperkaya orang-orang tertentu di sekitar dia, bahkan orang yang sangat dipercayai oleh presiden,” ujarnya.
“Ini bukan sekadar ujian bagi lembaga penegak hukum, ini ujian bagi keseriusan pemerintah, seserius apa presiden melihat konflik kepentingan pembantunya dan kualitas kebijakan publiknya.” imbuhnya.
Di sisi lain, Zainal juga mendesak agar lembaga penegak hukum seperti KPK, kepolisian, maupun kejaksaan segera mengusut dugaan konflik kepentingan ini tanpa perlu menunggu laporan masyarakat. “Jika lembaga negara terkait itu serius, seharusnya mereka bisa melihat konflik kepentingan ini berbahaya atau tidak,” ungkapnya.
“KPK bisa langsung saja masuk, BPK juga bisa masuk kalau mereka menganggap itu hal yang penting,” tutur Zainal.
Baik pihak Luhut maupun Erick membantah soal dugaan konflik kepentingan atas bisnis tes PCR itu. Arya Sinulingga dari Kementerian BUMN menyanggah atasannya terlibat konflik kepentingan dalam bisnis PCR. “Di Adaro ada keluarganya, oke, tapi dia (Erick Thohir) kan enggak punya kewenangan,” kata Arya.
Sementara itu, Deputi Koordinasi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Septiadi Hario Seto mengatakan tidak punya motif apa-apa dalam menjelaskan masalah keikutsertaan Luhut dalam pengadaan alat tes PCR ini. Ia hanya ingin menjelaskan pada saat pertama kali corona masuk ke Indonesia situasi sangat sulit karena alat tes PCR sangat terbatas.
“Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas tes covid melalui PCR pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu,” katanya mengutip media CNNIndonesia.*