Hidayatullah.com—Ketua Komisi I DPR RI Meutya Viada Hafid mengecam keras pembunuhan yang terjadi terhadap jurnalis Al-Jazeera yang sedang bertugas di wilayah pendudukan Palestina itu. “Ini adalah sebuah tindakan pembunuhan brutal yang dilakukan tentara ‘Israel’ dan tidak dapat dibenarkan oleh dalih apapun karena Shireen bertugas dengan mengenakan rompi bertuliskan pers,” tegasnya Meutya dalam keterangan persnya dikutip Parlementaria.
Meutya menambahkan, bila jurnalis/wartawan yang sedang berada di situasi konflik bersenjata harus mendapatkan perlindungan dari kedua belah pihak yang bertikai sesuai dengan ketentuan hukum humaniter internasional. Kejadian penembakan itupun dinilai merupakan sebuah pelanggaran berat yang masuk ke dalam kategori kejahatan perang, karena telah melanggar ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949.
“Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat A sub 4 Konvensi IV Jenewa 1949 dan Pasal 79 Protokol Tambahan I 1977 di mana wartawan merupakan salah satu pihak yang harus dilindungi dalam sengketa bersenjata dan selayaknya diperlakukan sebagai warga sipil,” jelas politisi Partai Golkar ini.
Meutya pun menyerukan kepada seluruh pemerintah, parlemen, dan komunitas internasional untuk bersama-sama menuntut ‘Israel’ agar bertanggung jawab atas pembunuhan yang terjadi pada jurnalis Al-Jazeera Shireen Abu Akleh. “Tuntutan kepada ‘Israel’ ini untuk mengingatkan pada semua pihak bahwa jurnalis yang meliput situasi konflik harus dipastikan keamanan dan perlindungannya setiap saat,” ujarnya.
Selain itu, Meutya juga meminta Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk membuka penyelidikan pidana pada para pelaku yang terlibat. “Saya menuntut pada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk membuka penyelidikan pidana pada para pelaku yang terlibat termasuk komandan yang bertanggung jawab dalam pembunuhan. Sudah saatnya para pelaku kejahatan perang ini diadili dan dimintai pertanggungjawaban pidana internasional,” pinta legislator dapil Sumatera Utara I.
Meutya menambahkan, Komisi I DPR RI meminta mitranya dalam hal ini yakni Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu) untuk menggalang kerja sama internasional untuk melakukan penyelidikan segera dan menyeluruh dan bagi mereka yang bertanggung jawab untuk dimintai pertanggungjawaban.
“Juga meminta Kemlu untuk menggalang solidaritas internasional untuk memastikan hukum dan norma internasional ditegakkan demi melindungi wartawan yang sedang bertugas dan pekerja media tidak lagi menjadi sasaran perang. Itulah yang saya rasakan saat menjadi jurnalis meliput di wilayah konflik bersenjata hingga pernah disandera di Irak,” tutur Meutya.
Tidak lupa ia menyampaikan belasungkawanya yang mendalam kepada keluarga dan kerabat Ali Al-Samoudi dan Shireen Abu Akleh ketika meliput serangan ‘Israel’ di Kota Jenin, di wilayah Tepi Barat. Ia pun menyampaikan pernyataan sikap Komisi I terkait kejadian tersebut.
“Doa dan simpati saya juga untuk Jurnalis Ali Al-Samoudi yang terkena tembakan di punggung. Sebagai mantan jurnalis yang pernah meliput di wilayah konflik bersenjata, saya merasakan kehilangan sosok wartawan yang amat dihormati karena telah meliput di tanah pendudukan Palestina sejak awal intifada Palestina kedua pada tahun 2000,” ujar mantan jurnalis Metro TV ini.*