Hidayatullah.com–Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bandung, Abdurahim menyebut akan melakukan evaluasi terkait peristiwa seorang santri yang didenda Rp 37 juta oleh pihak pesantren. Ia menyebut akan memintai keterangan dan kronologi dari pemilik dan pengasuh Pondok Pesantren Ruuhul Qur’an Mumtaz (RQM).
Pesantren yang berada di Kampung Cigupakan, Desa Cilengkrang, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ini sebelumnya diketahui mendenda santrinya asal Tasikmalaya IKW (12) sebesar Rp 37 juta lebih karena kabur dari pondok.
“Insya Allah akan melakukan kroscek bagaimana yang sebenernya dan termasuk kronologinya, sampai pimpinan Ponpes menerapkan sebuah sistem yang menurut informasi ada nominal yang disanksikan kepada santrinya,” katanya, dilansir Kompas, Rabu (9/10/2022).
Menurutnya, kejadian ini merupakan bentuk keprihatinan yang terjadi di dunia pondok pesantren. Ia menyayangkan adanya nominal yang diterapkan dalam sanksi tersebut.
“Kami merasa prihatin dengan adanya statement dari Ketua Yayasan atau pun sebuah bentuk teguran yang di dalamnya disebut nominal, itu merupakan sebuah keprihatinan,” tutur dia.
Tak hanya itu, Abdurnahim menyarankan agar setiap Ponpes tidak menerapkan sanksi berupa pemberian nominal, namun berupa sesuatu yang mendidik.
“Sebaiknya di sebuah pondok pesantren itu menegakan tata tertib dan lain sebagainya itu adalah sanksi-sanksi yang tidak harus berupa keuangan akan tetapi berikanlah sanksi itu yg sifatnya mendidik dan tidak memiliki asumsi dan permasalahan ke depan,” ungkapnya.
Abdurahim mengaku baru mengetahui kejadian tersebut beberapa hari lalu dari pemberitaan di media. Ia berjanji dalam waktu dekat, akan segera memberikan pembinaan, penguatan, dan evaluasi terhadap Ponpes yang bersangkutan agar hal serupa tidak terulang lagi.
“Dalam hal ini sebagai Kemenag kami akan melakukan evaluasi apapun yang dilakukan di bawah Kemenag, yang meliputi pondok pesantren, masjid, majelis ta’lim, termasuk kegiatan lainnya. Insya Allah ini sebagai bentuk pelajaran dan tidak akan terulang lagi, jangan sampai ada stigma pesantren itu tidak lagi relevan dijadikan tempat menimba ilmu,” pungkasnya.*