Hidayatullah.com–Pada masa Islam, sekitar 1000 tahun lamanya, perekonomian umat Islam tak hanya stabil, bahkan tak mengalami krisis dan bisa mensejahterakan masyarakat. Pada zaman Khalifah Umar Bin Abdul Aziz tidak ditemukan warga yang berstatus mustahiq (orang yang menerima zakat). Semuanya muzakki (orang yang berhak mengeluarkan zakat).
Pernyataan tersebut disampaikan Muhammad Nafik, SE, MSi, pengajar Fakultas Ekonomi Unair Selasa pagi (10/9) di Aula Fajar, Unair Kampus B dalam sebuah seminar bertajuk, ”Peran Strategis Lembaga Keuangan Syariat dalam Mengakselerasi Pertumbuhan Bisnis Syariah di Indonesia.”
Ia menjelaskan, atas adanya fakta sejarah tersebut, sistem ekonomi konvensional/sekuler harus beralih pada sistem ekonomi islami. Tak hanya itu, mindset ilmu ekonomi sekuler yang diajarkan di kampus harus sesuai mindset islam. Oleh kerena itu, Unair sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) cukup terkemuka, membuka prodi fakultas ekonomi syariah.
Selain telah teruji, ada sejumlah alasan yang tidak bisa terbantahkan atas kehebatan ekonomi Islam. Pertama, alasan normatif risalah. Pengembangan dan implementasi ekonomi Islam adalah sebuah instruksi wajib sebagaimana risalah (al-Quran, Red). Kedua, empirik sosial ekonomi, bahwa sistem ekonomi sekuler yang ada sekarang telah gagal mensejahterakan umat.
Ketiga, keunggulan komparatif. Indonesia jika mengembangkan ekonomi Islam, akan menjadi rujukan. Beda halnya dengan ekonomi konvensional, maka akan selalu merujuk ke Barat. Keempat: tuntuan dan tren global. Menurutnya, secara global menunjukkan adanya perkembangan perekonomian syariah, baik di negara Islam maupun sekuler sekalipun. Salah satunya adalah dengan menjamurnya perbankan syariah.
Selain memaparkan keunggulan ekonomi Islam, Muhammad Nafik juga menjelaskan kebobrokan bunga sebagai konsekuensi dari sistem ekonomi konvensial. Sistem bunga selama ini hanya menimbulkan mudharat bagi sosial ekonomi. Beda halnya dengan sistem bagi hasil. Oleh karena itu, baik secara normatif maupun empirik, bunga merupakan hal yang haram dan berbahaya.
Hadir sebagai narasumber lain mantan Wakil Direktur BMI yang juga konsultan bisnis dan finansial, Adiwarman A Karim, MBA, dan penelitis senior Bank Indonesia (BI), Ascarya, PhD. [ans/hidayatullah.com]