Hidayatullah.com–Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang (DPP PBB), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan rasa kekhawatirannya apabila pemerintahan Jowo Widodo (Jokowi) terus menerus melakukan kerjasama dengan pemerintahan China.
“Itu menjadi kekhawatiran sangat serius bagi kita. Sebab, membangun kerjasama ekonomi dengan pemerintahan China tidak pernah lepas dengan persoalan-persoalan politik juga,” kata Yusril kepada hidayatullah.com, usai konprensi pers bertema “Setahun Kinerja Pemerintahan Jokowi-JK” di Markas Besar PBB, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Apalagi, imbuh Yusril melanjutkan, cara-cara kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah China melalui BUMN dan pinjaman ke bank-bank China. Menurutnya, cara-cara yang seperti itu, sebenarnya secara politik bisa menguasai aset-aset yang dimiliki oleh negara (Indonesia, red).
“Katakanlah pinjaman tersebut mau diarahkan antara bisnis ke bisnis, itu sama sekali tidak mungkin dilakukan oleh pemerintahan China. Sebab, perusahaan yang ada di China yang melakukan kerjasama dengan pihak luar negeri itu di bawah control pemerintahan China dan umumnya perusahaan itu adalah milik pemerintahan China sendiri,” jelas Yusril.
Selai itu, Yusril mengatakan bahwa cara-cara China melakukan kerjasama ke BUMN pada akhirnya akan membuat posisi pemerintah Indonesia menjadi sulit untuk mengembalikan hutang dan akan menjadi beban sebagaimana proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang invetasinya sekitar 78 triliun.
“Padahal 78 triliun itu tidak sedikit, dan jika dibuat untuk membangun infrastruktur di daerah-daerah sangat luar biasa,” cetus Yusril.
“Lalu, sekarang yang jadi pertanyaan buat kita apa urgensinya presiden membuat proyek seperti itu karena orang pergi ke Bandung dari Jakarta belum ada yang mengeluh kok, masih bisa naik pesawat, pakai mobil lewat jalan tol maupun naik kereta api yang sudah ada sekarang?”
Menurut Yusril, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini urgensinya nggak ada sama sekali. Bahkan kalau dipakai untuk membangun jembatan selat Sunda yang menghubungkan Jawa dengan Sumatera (Selat Malaka,red) sebesar 200 triliun justru lebih realistis.
“Tetapi kan Pak Jokowi nggak mau melakukan itu. Padahal pemerintah sebenarnya tidak keluar investasi secara langsung karena dibiaya pihak swasta. Sekarang malah jadi beban utang. Berat itu,” tandas Yusril.*