Hidayatullah.com– Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) sebagai organisasi masyarakat sipil yang peduli pada penyiaran yang demokratis menyatakan, mengecam draf Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran versi Badan Legislasi (Baleg) DPR tertanggal 19 Juni 2017.
Anggota KNRP Muhamad Heychael menilai, ada beberapa ketentuan yang bermasalah dalam draf tersebut karena melenceng dan mengkhianati prinsip dari demokratisasi penyiaran, serta tidak berpihak pada kepentingan publik.
“Dan secara sangat transparan mengusung kepentingan pemodal besar industri penyiaran,” ujarnya kepada hidayatullah.com, penghujung pekan kemarin.
KNRP, terang Heychael, menyoroti setidaknya terdapat tujuh hal yang patut dipermasalahkan dari draf Baleg. Pertama, kata dia, terkait digitalisasi penyiaran. Ia menyebut, beberapa pasal yang mengatur migrasi penyiaran dalam draf Baleg justru cenderung mengukuhkan dominasi lembaga-lembaga penyiaran swasta dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas.
Seperti pada Pasal 26 tentang Penguasaan Swasta atas Sisa Frekuensi Analog, Pasal 33 tentang Penyelenggaraan Multipleksing, Pasal 23 tentang Migrasi Alamiah, dan Pasal 24 tentang Insentif bagi LPS yang memiliki IPP Tetap.
Baca: ‘Memihak Pemodal Besar’, Draf RUU Penyiaran versi Baleg Disesalkan
Kedua, lanjutnya, terkait dimana dalam draf Baleg memperkenalkan sebuah lembaga baru bernama Organisasi Lembaga Penyiaran.
Yang mana, dalam draf tersebut disebutkan, tujuan organisasi itu didirikan untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan lembaga penyiaran. Meskipun demikian, Heychael menilai keberadaan Organisasi Lembaga Penyiaran justru menjungkirbalikkan tatanan regulasi sehingga terkesan tidak logis.
“Jika keberadaan organisasi ini diakomodir dalam UU, maka persoalan regulasi penyiaran akan semakin rumit. Tumpang tindih kewenangan dan ego sektoral yang selama ini menjadi biang ketidakefektifan birokrasi juga akan terjadi di sektor penyiaran,” paparnya.
Apalagi, keikutsertaan anggotanya dalam beberapa forum atau lembaga sedikit banyak dinilai akan memboroskan uang negara. Sehingga, Heychael menegaskan, dengan segenap argumen tersebut keberadaan organisasi usulan Baleg ini haruslah ditolak.
“Seharusnya Baleg memperkuat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia. Red) yang telah dibiayai uang rakyat, bukan mengusulkan sebuah lembaga baru yang sekadar mengakomodir kepentingan para pemodal,” ungkapnya.
Baca: Sejumlah Ormas Desak RUU Penyiaran Konsisten Larang Iklan Rokok
Ketiga, ia mengungkapkan, draf RUU Penyiaran versi Baleg tidak memberikan larangan mengenai iklan rokok. Padahal, draf Komisi I DPR sebelumnya tertanggal 6 Februari 2017 telah memuat larangan iklan rokok di media penyiaran sebagaimana dalam Pasal 144 Ayat 2 huruf i.
Poin selanjutnya, yakni mengenai penyelenggaraan SSJ (Sistem Stasiun Jaringan). Kemudian, kelima, terkait pembatasan kepemilikan, dimana batas yang dimaksud masih sangat kabur.
Tidak jelasnya ketentuan ini, menurut Heychael, berpotensi untuk mengukuhkan monopoli lembaga penyiaran di tangan segelintir orang, yang dapat mengakibatkan diversity of content (keragaman konten) dan diversity of ownership (keragaman kepemilikan) terabaikan, sebagaimana yang terjadi pada dunia penyiaran selama ini.
Keenam, sambungnya, tentang pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang disebut hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan administratif dan teknis, bukan karena pelanggaran isi siaran.
Hal ini, menurutnya, menjadi sebuah ironi, mengingat aspek isi siaran adalah aspek yang menjadi bagian yang sangat penting dalam proses memperoleh IPP dan menjadi bagian sangat signifikan dalam penilaian kinerja lembaga penyiaran. Apalagi, pelanggaran isi siaran adalah hal yang langsung berdampak kepada masyarakat luas.
Baca: KNRP: Poin-poin Draf Revisi UU Penyiaran ini Abaikan Kepentingan Publik
Terakhir, mengenai bagian baru dalam Bab X (Pelaksanaan Siaran), yakni Kegiatan Jurnalistik yang tidak ada pada draf Komisi I.
Tujuh poin di atas, tegas KNRP adalah hal yang secara sangat jelas menunjukkan keberpihakan draf RUU Penyiaran versi Baleg kepada industri penyiaran khususnya stasiun televisi besar dan sebaliknya mengabaikan kepentingan publik.
“Kami meminta kepada Komisi I DPR RI untuk tidak menerima rekomendasi dari Baleg tanpa mempertimbangkan kepentingan publik luas.
Sebagai wakil rakyat, Komisi I harus mampu menghasilkan revisi UU Penyiaran yang demokratis, adil, dan berpihak pada kepentingan publik. Pengkhianatan kepada publik luas adalah pengkhianatan kepada pemilik frekuensi yang sah,” tandas Heychael yang juga Direktur Remotivi ini.*