Hidayatullah.com– Draf Revisi UU (RUU) Penyiaran yang sedang dirancang DPR merupakan langkah mundur dalam demokratisasi penyiaran Indonesia.
Yang mana, demokratisasi penyiaran itu sebenarnya sudah dimulai 14 tahun lalu dengan disahkannya UU Penyiaran Tahun 2002.
Demikian disampaikan anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), Nina Mutmainnah kepada hidayatullah.com di Jakarta, Rabu (28/12/2016).
“KNRP merasa prihatin bahwa DPR terkesan berusaha menyiapkan sebuah UU Penyiaran yang mengabaikan kepentingan publik dan semangat demokratisasi penyiaran,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya.
Hal itu, terang Nina, terlihat dengan jalannya proses penyiapan RUU yang tidak transparan dan tidak terbuka terhadap keterlibatan publik.
Hajriyanto Y. Tohari : Bahaya Jika Televisi Dimiliki Perorangan
Sistem Siaran Jaringan
KNRP menyoroti beberapa poin dalam Revisi UU Penyiaran yang dinilai berpihak kepada pemodal dan mengabaikan kepentingan publik.
Seperti, kata dia, draf RUU yang menyatakan bahwa Sistem Siaran Jaringan (SSJ) bukan merupakan kewajiban, melainkan opsional, bagi lembaga penyiaran yang hendak bersiaran ke banyak wilayah siar.
“Hal ini dengan sendirinya akan mematikan gagasan SSJ dan melanggengkan pemusatan siaran televisi di Jakarta. Dan itu bertentangan dengan UU Penyiaran tahun 2002 yang mewajibkan SSJ,” papar Nina.
Sensor dan Naiknya Porsi Iklan
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Selain itu, lanjutnya, terkait penetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran. Yang mana bertentangan dengan UU Pers, karena seharusnya siaran jurnalistik tidak dikenai sensor.
Poin lain, terang Nina, draf RUU yang memuat ketentuan bahwa porsi iklan spot paling tinggi 40 persen dari setiap waktu tayang program.
“Ini merupakan peningkatan porsi iklan yang luar biasa dibandingkan UU Penyiaran tahun 2002 yang hanya menetapkan angka 20 persen,” ungkapnya.
“Hal ini akan sangat menganggu kenyamanan khalayak dan menunjukkan keberpihakan yang tinggi kepada pemodal,” tambah Nina menutup.*