Tepat dua tahun yang lalu, selama 23 hari terus-menerus, angkatan perang Zionis “Israel” menteror 1,5 juta warga Jalur Gaza dan membantai lebih dari 1300 orang. Jalur Gaza pada mulanya adalah kamp-kamp pengungsi sejak tahun 1948 bagi rakyat yang kampung-kampungnya diteror oleh Yahudi Zionis.
Menurut Raid Salah, seorang pejuang sipil kemerdekaan Palestina, supaya bisa mendirikan negara di atas tanah yang dirampoknya, Yahudi Zionis membumiratakan sekitar 500 desa dan kelurahan di seluruh Palestina sejak tahun 1946. Raid Salah lahir dari rahim seorang ibu yang selamat dari pembantaian itu, sepuluh tahun sesudah “Israel” didirikan. Bulan Desember kemarin, Raid Salah baru dilepaskan dari penjara karena keikutsertaannya di kapal kemanusiaan Mavi Marmara menuju Gaza bulan Mei silam. Kami tidur dan makan di kabin yang sama di kapal itu.
Kejahatan Zionis “Israel” atas Gaza dua tahun silam itu tak boleh kita lupakan. Karena sampai hari ini penjahatnya belum ditangkap dan dihukum. Keadilan belum ditegakkan, bahkan Jalur Gaza masih dikepung dan diteror dari darat, laut, dan udara.
Bukan cuma dua tahun lalu. Zionis “Israel” sudah merampok, menjajah dan menteror negeri Palestina sejak 14 Mei 1948 sampai hari ini. Kejahatan mereka ini selalu mengingatkan kita akan nasib yang pernah menimpa kita sendiri di Nusantara. Dirampok, diteror, dan dijajah oleh Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang.
Sekali perampok tetap perampok, sebelum menghentikan kejahatannya dan bertaubat. Lihatlah Belanda. Meskipun sudah 350 tahun hidup turun-temurun di Nusantara, kita tidak akan pernah menganggap legal berdirinya “Hindia Belanda” di atas tanah dan air kita. Selama-lamanya kita akan mendidikkan kepada anak-anak kita, bahwa “Hindia Belanda” adalah ilegal, perampok dan penjajah.
Walaupun, selama 32 tahun Orde Baru, pemerintah Kerajaan Belanda memberikan pinjaman maupun hibah uang dalam berbagai proyek pembangunan Indonesia, status negeri itu tetap saja “dulunya penjajah kita”. Sekarang atau kelak kita bisa berteman dengan Belanda, sebagai adab pergaulan internasional, tetapi itu kita lakukan sesudah Belanda mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah hitam Belanda di Nusantara, termasuk ketika dia mencoba merampok dan menjajah lagi Indonesia sesudah tahun 1945, tidak akan pernah kita hapus dari ingatan kita. In-sya’Allah.
Nah, kalau yang 350 tahun saja tidak akan pernah kita akui, apalagi negara Zionis bernama “Israel” yang baru didirikan di atas tanah rampokan bernama Palestina 63 tahun yang lalu?
Haji Jusuf Kalla sebaiknya mengoreksi sikap pragmatisnya pergi ke Palestina yang sedang dijajah Zionis “Israel”, lantas sebagai Ketua Palang Merah Indonesia membuka kerja sama dengan organ penjajah bernama Bintang David Merah. Dengan melakukan hal itu JK sedang menggandeng tangan perampok, teroris, dan penjajah yang sudah biasa menggunakan bendera kemanusiaan sebagai kedok seperti Belanda juga dulu. Numpang tanya, sudah berapa kali JK menengok saudara-saudaranya di Gaza yang sedang diembargo?
Masih segar dalam ingatan semua orang di kawasan Arabia, bagaimana selama ratusan tahun sebelumnya, kelompok-kelompok minoritas Yahudi hidup wajar bersama tetangga Muslim dan Kristennya. Warga Yahudi itu tiba-tiba menjadi beringas begitu kerasukan faham Zionisme. Sebuah faham rasis yang meletakkan ras Yahudi sebagai superior atas segala bangsa, dan mengamalkan keyakinannya itu dengan teror bersenjata demi berdirinya negara Yahudi bernama “Israel”.
Lewat pengkondisian dan legalisasi yang rapi, Amerika Serikat, Inggris dan Prancis dicatat oleh sejarah, bukan saja mendukung perampokan atas Palestina, tapi juga mendesak PBB mengakui berdirinya negara baru bernama “Israel”. Inggris bahkan sudah mempersenjatai kelompok-kelompok teroris Yahudi seperti Ygun dan Hagana sejak dua tahun sebelum didirikannya “Israel”.
Meskipun sama-sama anggota PBB, sampai hari ini Republik Indonesia tidak mengakui negara “Israel”. Karena mengakui “Israel” sebagai negara, berarti mengkhianati asas kemerdekaan kita sendiri sebagai bangsa. Bagaimana kita bisa mengakui perampok rumah saudara kita sebagai pemilik sah hasil rampokannya, sedangkan kita menolak mati-matian perampok lain menjarah rumah kita sendiri?
Belanda merampok kita. Zionis merampok Palestina. Kita menolak dan melawan “Hindia Belanda”, bagaimana mungkin kita bisa menerima dan berteman dengan Zionis “Israel” yang merampok saudara kita Palestina?
Kementerian Luar Negeri RI harus selalu mewaspadai upaya dari luar dan dalam tubuh kementerian yang pelan-pelan ingin menggeser status “Israel” yang “tidak diakui” bahkan “musuh kemerdekaan”, menjadi status “layak untuk diajak berdialog”. Bukankah diplomasi negara-negara kuat baru punya daya tekan yang efektif, kalau trouble maker yang akan diajak berdialog sudah terlebih dulu ditaklukkan, atau setidaknya dikuasai kelemahannya? Pak Marty Natalegawa tidak perlu mengikuti jejak Letjen TNI (Purn.) Luhut Panjaitan yang ketika menjabat Menteri Perdagangan dan Industri di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, membuka hubungan dagang dengan Zionis “Israel”. Seperti sudah kehabisan mitra dagang saja di dunia yang begini luas.
Bukan Cuma Urusan Legalitas
Lebih dari itu, urusan Palestina bukan semata-mata urusan legal atau tidak legalnya sebuah negara di mata hukum internasional yang bisa dibolak balik oleh negara-negara kuat. Bagi kita, urusan legal atau tidak legalnya “Israel” itu memang penting, tapi nggak penting-penting amat karena tidak akan perlu kita pertanggungjawabkan di hadapan Pengadilan Allah di Padang Mahsyar sesudah Hari Kiamat.
Yang lebih perlu kita cemaskan adalah kaitan urusan penjajahan Zionis “Israel” atas Palestina dengan keselamatan kita di Akhirat. Urusan ‘aqidah. Apakah kita menyikapinya dengan cara yang selamat atau yang celaka.
Secara ‘aqidah, orang Yahudi Zionis merasa memiliki dasar bagi legalitas keberadaan negara Israel. Apa itu? “Taurat”.
Ya, dalam sebuah program BBC berjudul “From Beirut to Bosnia” wartawan perang Robert Fisk mewawancarai orang-orang Yahudi fundamentalis. Mereka menyatakan, satu-satunya dasar legitimasi keberadaan mereka sebagai negara “Israel” di atas tanah Palestina adalah biblical claims, klaim-klaim berdasarkan “kitab suci” mereka.
Dalam pandangan orang Yahudi Zionis (sebab ada juga kelompok Yahudi yang non-Zionis dan menentang berdirinya “Israel”, jumlahnya sedikit), masalah ini adalah masalah ‘aqidah.
Bagi kita, masalah Palestina juga masalah ‘aqidah.
Lho, kok ikut-ikutan Yahudi?
Bukan ikut-ikutan. Palestina menjadi bagian dari urusan ‘aqidah kita karena tiga hal:
Pertama, karena di atas tanah Palestina ada Masjidil Aqsha di kota Al-Quds, tempat ibadah kepada Allah yang kedua yang didirikan manusia di muka bumi setelah Ka’bah. Membiarkan Masjidil Aqsha dijajah, dinodai, bahkan sudah terbukti secara sistematis akan dihancurkan perlahan-lahan, berarti membiarkan suksesnya kemusyrikan dan kedurhakaan terhadap ketauhidan Allah.
Orang-orang Yahudi Bani Israil pernah diberi kedudukan mulia oleh Allah, tapi memilih mengambil manhaj syaitan yang congkak, menganggap dirinya mulia dan orang lain lebih hina, serta mengingkari berbagai tuntunan Allah karena merasa cerdas dan berkuasa. Al-Quran menjelaskan secara rinci tabiat mereka dan bagaimana cara menghadapinya, sebagai bagian dari ujian untuk setiap orang yang ber-‘aqidah tauhid sampai akhir zaman.
Kedua, karena di tanah Palestina telah diturunkan oleh Allah para Nabi dan Rasul selama kurun ribuan tahun, Nuh, Ibrahim, Luth, Ishaq, Ya’qub, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Yusuf, Zakaria, Yahya, ‘Isa dan banyak lagi. Pesan intinya sama: agar seluruh manusia mentauhidkan ‘aqidah dan‘ibadah hanya kepada Allah, dan menegakkan syariat-syariat yang dituntunkan-Nya lewat para Nabi dan Rasul.
Membiarkan Yahudi Bani Israil menjajah Palestina, berarti membiarkan mereka mengklaim bahwa seluruh Nabi dan Rasul yang diutus Allah itu beragama dengan syariat seperti mereka. Bukan soal namanya yang beda seperti Noah, Abraham, Lot, Yitzak, Moses, Aaron, David, Solomon, Joseph, Zachary, John, dan Jesus (yang “dibunuh” oleh Yahudi, dan “dituhankan” oleh Kristen).
Soal nama tidak terlalu penting. Tetapi klimaks kekafiran mereka terutama dimulai saat mereka mendustakan Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan terakhir Allah yang ditugaskan melempangkan kekeliruan Yahudi dan Nasrani selama ribuan tahun. Ada diantara mereka yang menerima pelurusan itu, kemudian bersyahadat dan bersyariat, ada yang mengingkari bahkan berkhianat dan memeranginya.
Tokoh tokoh Islam yang pernah diundang ke Israel dan memakaikan songkok kippa di kepala Shimon Peres di kantornya di Tel Aviv, disadari atau tidak sedang memuliakan orang-orang yang mengatakan “Muhammad Pendusta, dan Allah Berbohong”. Apa lagi Shimon Peres yang disalaminya dengan ramah itu adalah tokoh pembantai saudara-saudara Muslimnya di kawasan itu, terutama di Qana 1996. Kalau memang benar mau mempromosikan “perdamaian” sebagaimana dinyataka pemimpin sebuah organisasi da’wah yang pernah ke Israel, seharusnya mereka mengajak Shimon Peres mengakui kesalahannya, kejahatannya, lalu bertaubat dan bersyahadat. Kalau sudah nyata Shimon Peres menolak, maka mereka harus mengutuk dan memusuhinya. Mudah-mudahan ada yang mengoreksi kekeliruan mereka dan menyadari bahaya laten keyakinannya itu.
Ketiga, urusan Palestina menjadi urusan ‘aqidah kita, karena sejak perintisan dan pendiriannya, sampai hari ini Zionis “Israel” tak henti-hentinya merampok, menteror, menculik, memperkosa, menyiksa, membunuh, mengkhianati perjanjian, dan melakukan semua bentuk kejahatan kemanusiaan atas saudara-saudara kita yang hendak menegakkan kalimat “Laa ilaaha illa Allah, Muhammadan Rasulullah…” di tanah suci itu.
Nabi Muhammad SAW memperingatkan kita bahwa membela saudara kita yang dizalimi adalah bagian dari ‘aqidah. Bahkan Al-Quran menempatkan kedudukan persaudaraan ‘aqidah lebih rapat daripada persaudaraan biologis keluarga.
Kalau saat ini ayah kita, atau ibu kita, atau adik kita, atau kakak kita, dirampok dan diculik orang, diperkosa dan disiksa, lalu mereka menangis dan berteriak-teriak minta ditolong, apakah kita akan diam dan tidur?
Celakalah kita kalau jawabannya “ya”.
Lantas kenapa sekarang kita diam dan tidur, saat menyaksikan ayah kita, ibu kita, adik kita, kakak kita, anak-anak kita diteror, dijajah, dan dibantai di Palestina?
Dua tahun lalu, Allah menarik perhatian kita lewat Gaza. Berkali-kali Allah sudah menarik perhatian kita lewat Deir Yasir, lewat Masjidil Aqsha, lewat Khalil-Hebron, lewat Jenin, dan banyak lagi… Apakah kita akan melanjutkan diam dan tidur kita?
Lebih baik kita jawab pertanyaan itu sekarang, sebelum kita ditanyai oleh Allah di Pengadilan Mahsyar. Ayo kita merangkul Gaza. Ayo kita merangkul Masjidil Aqsha. Ayo lawan kezaliman Zionis “Israel” dan siapapun yang berwajah garang atau manis di belakangnya.
Mudah-mudahan kita segera bisa shalat berjama’ah di Masjidil Aqsha dalam keadaan merdeka. Janganlah kita bertamasya dan shalat di sana sampai kita selesai menolong ayah, ibu, kakak, adik, dan anak-anak kita di Gaza dan di seluruh Palestina. Sampai kita merdekakan Masjidil Aqsha. *
*Penulis adalah wartawan, guru madrasah, dan seorang relawan