Hidayatullah.com—Setelah tarik ulur cukup alot, akhirnya Fatah dan Hamas segera mengumumkan pemerintah baru persatuan nasional Palestina.
Reuters melaporkan, setelah berjam-jam berdialog pada Selasa (14/6), pemimpin Fatah Mahmoud Abbas dan Ketua Biro Politik Hamas Khalid Misy’al, mengatakan kepala mereka akan mengumumkan pemerintahan persatuan nasional Palestina pekan depan di Mesir.
“Nama perdana menteri dan para menteri akan diumumkan pada Selasa (pekan depan),” kata wakil Misy’al, Musa Abu Marzuk.
Keputusan itu sesuai dengan kesepakatan rekonsiliasi yang ditandatangani kedua pihak pada pada 4 Mei lalu.
Kesepakatan itu menyerukan pembentukan pemerintah sementara gabungan tokoh teknokrat dan tokoh-tokoh non-partisan. Disebutkan pula penetapan pemilihan presiden dan legislatif di Palestina dalam setahun.
Namun, kesepakatan dua kelompok besar Palestina itu tidak menyinggung isu-isu seperti pengakuan Palestina terhadap Zionis Israel.
Pekan lalu, perundingan persatuan antara Fatah dan Hamas tersandung batu terkait identitas perdana menteri baru Palestina.
Fatah bersikeras bahwa Penjabat Perdana Menteri Otoritas Ramallah, Salam Fayyad merupakan kandidat terbaik untuk jabatan tersebut, sedangkan Hamas menentang pencalonan diri Fayyad karena hubungan dekatnya dengan Barat.
Hamas juga berpendapat bahwa dalam kesepakatan rekonsilias, calon anggota kabinet dan perdana menteri harus dari tokoh independen non-partisan.
Menurut sumber Hamas, kedua pihak kini telah mencapai kesepakatan untuk menghapus nama Fayyad dari daftar calon perdana menteri.
Israel dan AS marah
Kesepakatan rekonsiliasi nasional yang ditandatangani dalam rangka membentuk negara Palestina merdeka, telah membuat geram para pejabat Zionis Israel dan Amerika.
Media-media Zionis memberitakan Israel telah memulai memobilisasi kedutaan besarnya di seluruh dunia untuk perang melawan pengakuan PBB atas negara Palestina merdeka. Tel Aviv juga memerintahkan para diplomatnya untuk menyampaikan bahwa langkah itu akan menciderai dan merusak kesempatan untuk mengadakan perundingan damai di masa depan.
Para duta besar Israel diminta untuk melobi para pejabat tinggi di negara mereka bertugas, menggalang dukungan dari komunitas Yahudi lokal dan bahkan menyerukan kunjungan singkat pejabat senior Tel Aviv jika mereka berpikir itu akan membantu.
“Tujuan kami adalah untuk menetapkan jumlah maksimum negara yang menentang proses pengakuan PBB atas negara Palestina,” tulis Barak kepada para dubes Israel, yang dikirim pada 2 Juni. “Upaya Palestina harus ditafsirkan sebagai suatu proses yang mengikis legitimasi Negara Israel,” tegas Dirjen Departemen Luar Negeri Israel, Rafael Barak dalam kabel diplomatik dikutip koran Haaretz.*