Hidayatullah.com– Politikus berdarah Arab, Zouheir Bahloul, mengundurkan diri dari badan legislatif menyusul pengesahan undang-undang yang menyatakan ‘Israel’ merupakan ‘Negara Bangsa’ bagi orang Yahudi, kutip BBC.
Bahloul menuding pengesahan beleid itu menunjukan sikap rasis parlemen ‘Israel’. Undang-undang yang dikritik Bahloul juga menempatkan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi ‘Israel’, di atas bahasa Arab.
“Peraturan itu menyingkirkan populasi keturunan Arab dari kesetaraan di ‘Israel’,” ujarnya kepada jaringan televisi lokal, ‘Israel’i TV.
Ketentuan tersebut disahkan 19 Juli lalu dan memantik kemarahan warga keturunan Arab yang dianggap minoritas di ‘Israel’.
Anggota Knesset atau parlemen ‘Israel’ yang berdarah Arab merobek salinan beleid itu dan meneriakkan kejengkelan mereka. Beberapa dari mereka diusir dari ruang paripurna.
“Saya mengundurkan diri dari Knesset,” kata Bahloul, anggota partai oposisi pemerintah, Partai Persatuan Zionis, Sabtu (28/07/2018).
“Haruskah saya bertahan dalam posisi yang tak dapat memutuskan apapun ini? Apakah saya harus melegitimasi parlemen yang merusak, rasis, dan ekstremis ini?” ujarnya.
Bahloul mengatakan, dia tak sanggup memberitahu anak-cucunya bahwa dia mempertahankan kedudukan di parlemen yang dinilainya tidak adil.
Sementara itu, Perdana Menteri ‘Israel’, Benjamin Netanyahu, menyebut pengesahan undang-undang itu merupakan peristiwa yang menentukan bagi sejarah negaranya.
“Setelah 122 tahun Theodore Herzl mempublikasikan visinya, melalui undang-undang ini kita meneguhkan prinsip dasar eksistensi negara kita,” tuturnya.
Theodore Herzl yang disebut Netanyahu adalah penggagas zionisme modern.
Ketentuan yang baru saja disahkan itu disebut sebagai Undang-Undang Dasar: ‘Israel’ sebagai Negara Bangsa Yahudi.
Baca: Presiden Erdogan Mengecam Keras UU Rasis ‘Israel’ yang Kontroversial
Legislasi itu secara umumnya menegaskan ‘Israel’ sebagai negara bangsa Yahudi.
Beleid itu dibuat karena sejumlah politikus Yahudi menilai prinsip dasar pendirian ‘Israel’–negara untuk kelompok Yahudi di tanah kelahiran mereka–saat ini tengah terancam.
Namun warga ‘Israel’ keturunan Arab, yang jumlahnya berkisar 20% dari total populasi, memandang peraturan itu sebagai bukti negara telah merendahkan status mereka.
Berdasarkan ketentuan, komunitas berdarah Arab ini sejajar dengan kelompok masyarakat lainnya. Walau begitu, mereka sejak lama mengeluh diperlakukan sebagai warga kelas dua.
Mereka mengklaim menghadapi diskriminasi dan aturan yang lebih tidak adil dibandingkan warga keturunan Yahudi.*