Hidayatullah.com—Pasukan Keamanan ‘Israel’ memasang pengeras suara di kompleks Masjid Al-Aqsha di Yerusalem Timur (Baitul Maqdis) yang diduduki pada hari Rabu (10/09/2020). Tindakan tersebut dikutuk oleh warga Palestina dan pemelihara Masjid, Yordania sebagai pelanggaran terhadap salah satu dari tiga situs suci umat Islam itu .
Pengeras suara baru, yang dipasang di Gerbang Wudhu di bagian barat kompleks, adalah pengeras suara ‘Israel’ ketiga yang dipasang di dalam atau di sekitar kompleks sejak 2017. Yang pertama dipasang di atap dekat Sekolah Umariyah, dekat gerbang barat laut komplek Bani Ghanim. Yang kedua didirikan di atas Sekolah Syariah Al-Aqsha dekat Gerbang Timur Laut pada hari Ahad (06/09/2020).
Dengan set pengeras suara ketiga, otoritas penjajah akan dapat melakukan siaran ke sisi utara kompleks Masjid Al-Aqsha dari dalam dan luar. Pengeras suara itu akan bersaingan dengan milik Wakaf Islam yang bertanggung jawab atas Masjid Al-Aqsha, Middle East Eye (MEE) melaporkan.
Sistem pengeras suara akan memungkinkan pasukan penjajah untuk membuat pengumuman dan instruksi kepada mereka yang hadir di masjid, termasuk jamaah Muslim dan pemukim ilegal Yahudi yang secara teratur menyerbu komplek tersebut dengan melanggar perjanjian perwalian yang membatasi kegiatan non-Muslim di Masjid tersebut. Langkah Zionis dipandang oleh warga Palestina sebagai upaya terbaru untuk mengancam integritas kompleks tersebut sebagai tempat ibadah Muslim, mungkin membuka jalan untuk gangguan lebih lanjut oleh pasukan ‘Israel’.
Mantan mufti agung Masjid Al-Aqsha, Ekrima Sabri, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa ‘Israel’ berupaya untuk memaksakan kedaulatannya atas masjid dan merusak Wakaf Islam, wakaf yang berafiliasi dengan Yordania yang secara historis bertugas mengelola situs suci. Zionis mengklaim bahwa Masjid Al-Aqsha dibangun di tempat Kuil Yahudi Pertama dan Kedua yang pernah berdiri.
Beberapa tokoh sayap kanan Israel secara terbuka mengadvokasi penghancuran Al-Aqsha sehingga Kuil Ketiga bisa dibangun menggantikannya.
“Tindakan pendudukan terhadap Al-Aqsha tidak valid dan ilegal,” kata Sabri kepada Middle East Eye. “Kami tidak mengakui mereka. Kami menganggap pemerintah Israel bertanggung jawab atas pelanggaran kesucian Al-Aqsha, karena secara langsung bertanggung jawab atas setiap agresi. Mereka juga yang melindungi para pemukim yang menyerbu situs, mendorong mereka untuk meningkatkan jumlah mereka,” tambahnya.
Mengenai kemungkinan skenario cara menggunakan pengeras suara baru di atas Al-Aqsha, Sabri berteori bahwa tujuan mereka adalah untuk memperketat kontrol pasukan keamanan Yahudi atas masjid dan memantau jama’ah Palestina lebih lanjut. Sementara itu, peneliti Yerusalem Ziad Abhais mengungkap pengeras suara dapat digunakan oleh pasukan ‘Israel’ untuk membuat pengumuman untuk “mengontrol dan meneror” warga Palestina dan mungkin membantu membubarkan jama’ah.
Dia menambahkan bahwa pengeras suara dapat digunakan untuk menutup masjid secara sepihak tanpa koordinasi dengan otoritas Wakaf, atau untuk menyampaikan pernyataan dalam bahasa Ibrani kepada pemukim atau menyiarkan doa-doa Yahudi. “Kami sekarang menyaksikan proses pembuatan infrastruktur dan administrasi paralel di Al-Aqsha,” kata Abhais kepada MEE.
Dipasang secara Paksa
Pada tahun 2005, ‘Israel’ mengepung kompleks Masjid Al-Aqsha dengan jaringan lebih dari 200 sensor termal untuk memantau setiap pergerakan di atap, dinding, dan aula. Kamis lalu dan sebelumnya pada Ahad, karyawan Wakaf Islam menolak untuk membuka menara gerbang untuk pasukan keamanan ‘Israel’.
Pasukan Zionis kemudian menyerbu komplek dari gerbang yang sama, menggunakan tangga untuk naik ke atas tembok utara dan memasang pengeras suara menghadap Al-Ghazali Square. Pada hari Senin (07/09/2020), kementerian luar negeri Yordania mengutuk apa yang mereka gambarkan sebagai “pelanggaran terus menerus ‘Israel’ di komplek Masjid Al-Aqsha” setelah pengeras suara dipasang.
Seorang juru bicara kementerian mengatakan “praktik absurd” di situs warisan dunia UNESCO tersebut “tidak bertanggung jawab dan merupakan provokasi terhadap perasaan Muslims di seluruh dunia”. Dalam sebuah pernyataan, kementerian Yordania juga menuntut diakhirinya pelanggaran, menekankan bahwa Masjid Al-Aqsha adalah situs Islam “murni” dan bahwa pemerintahan Yordania atas Wakaf Yerusalem adalah satu-satunya otoritas yang bertanggung jawab untuk mengawasi semua urusannya.
Sejak pengumuman pada 13 Agustus bahwa ‘Israel’ dan Uni Emirat Arab telah mencapai kesepakatan yang membuka jalan bagi hubungan diplomatik resmi antara kedua negara, Yordania telah memperhatikan dengan prihatin bagaimana perkembangan tersebut dapat memengaruhi perwalian kerajaan Hashemite tersebut di Yerusalem.*