Hidayatullah.com–Ribuan warga Palestina di ‘‘Israel’’ berdemonstrasi di beberapa kota pada Selasa malam (02/02/2021). Aksi tersebut merupakan protes atas pembunuhan seorang pemuda dalam baku tembak polisi ‘‘Israel’’ dengan pria bersenjata bertopeng di desa Tamra sehari sebelumnya, lapor Middle East Eye (MEE).
Warga Palestina, yang merupakan sekitar 20 persen dari populasi ‘‘Israel’’, berbaris dalam jumlah ribuan di pemakaman Ahmed Hijazi, 22, seorang mahasiswa perawat, yang terbunuh di Tamra di utara negara itu pada Senin (01/02/2021) malam. Hijazi, seorang mahasiswa perawat, sedang mengunjungi temannya, dokter berusia 31 tahun, Muhammad Armoush, di rumah terakhirnya di Tamra ketika bentrokan bersenjata meletus antara polisi ‘‘Israel’’ dan pria bersenjata bertopeng.
Mendengar baku tembak itu, Hijazi dan Armoush keluar. Hijazi ditembak dan dibunuh, sedangkan Armoush ditembak di kaki dan kemudian dirawat di rumah sakit di Haifa. Pengunjuk rasa memblokir Jalan penting 70, yang menghubungkan kota dan desa di utara ke perbatasan ‘‘Israel’’ dengan Lebanon, dan Jalan 65, yang membentang dari pantai ke timur negara itu.
Polisi ‘‘Israel’’ menangkap beberapa warga Palestina dan menembakkan gas air mata dan peluru baja berlapis karet pada Selasa malam di kota Nazareth yang mayoritas penduduknya Palestina. Protes lain meletus di desa-desa mayoritas Palestina di Umm al-Fahm, Tamra, Baqa al-Gharbiyye dan al-Tira, Arab48 melaporkan.
Polisi ‘‘Israel’’ mengatakan bahwa salah satu pria bersenjata, Mahmoud Hisham Yassin, tewas dan satu lagi terluka pada Senin malam, menambahkan bahwa mereka telah membuka penyelidikan atas kematian Hijazi. Armoush, sementara itu, mengatakan polisi Zionis telah membunuh temannya.
“Jika seorang petugas polisi di negara ‘‘Israel’’, yang menangani penjahat sebagai bagian dari profesinya, tidak tahu bagaimana membedakan antara penjahat dan seseorang, ini bukan kesalahan – ini adalah kelalaian,” kutip The Jerusalem Post.
Kelompok hak asasi yang berbasis di Haifa Adalah mengutuk pembunuhan Hijazi, mencatat bahwa bahkan sebelum polisi ‘‘Israel’’ menyimpulkan penyelidikannya, “komandan polisi distrik utara ‘‘Israel’’ telah menyatakan di TV langsung bahwa tidak ada kecelakaan operasional dalam insiden tersebut”.
“Sudah terlalu lama, ‘‘Israel’’ telah mengabaikan masalah kekerasan internal dalam komunitas Arab dan tidak mengambil tindakan apa pun untuk mengekang kekerasan,” tulis Adalah, menggunakan istilah yang biasa digunakan di ‘‘Israel’’ untuk merujuk pada komunitas Palestina di dalam negara itu. “Situasinya telah menjadi bencana, yang mengarah pada invasi polisi ke Tamra – yang terakhir ini berubah menjadi mematikan,” tambahnya.
Kelambanan Polisi ‘‘Israel’’
Yousef Jabareen, anggota Knesset dari Daftar Gabungan Arab, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa kejahatan telah meningkat di wilayah warga Palestina di ‘‘Israel’’, sementara polisi dan badan keamanan pemerintah Zionis tetap diam. “Insiden ini menunjukkan bahwa polisi ‘‘Israel’’ memperlakukan kami sebagai musuh dan bahwa darah Arab mudah tertumpah, menurut kebijakan rasis polisi selama beberapa dekade,” kata Jabareen.
Dia menambahkan bahwa kematian Hijazi terjadi ketika Perdana Menteri ‘‘Israel’’ Benjamin Netanyahu sedang menawar suara dari pemilih Palestina dalam pemilihan legislatif mendatang pada bulan Maret. “Tapi kami tidak dapat melupakan bahwa kekerasan dan kejahatan di kota-kota Arab meningkat selama pemerintahan Netanyahu berturut-turut… Komunitas kami tahu siapa Netanyahu rasis sayap kanan, dan mereka akan membuatnya kecewa dalam pemilu mendatang,” kata Jabareen kepada MEE.
Kurang dari sehari setelah Hijazi ditembak, berita lokal melaporkan bahwa seorang wanita berusia 40-an ditembak pada hari Selasa di desa Majd al-Kurum oleh orang-orang bersenjata tak dikenal, menderita luka ringan. Pada 2019, 91 warga Palestina di ‘‘Israel’’ tewas dalam kejahatan atau insiden kekerasan, sementara 47 orang Yahudi-’Israel’ tewas dalam tindakan serupa, menurut surat kabar Haaretz.
Mohammed Abu Saleh, seorang perawat dari kota Sakhnin, mengatakan kepada MEE bahwa pihak berwenang ‘‘Israel’’ dengan sengaja mengikuti kebijakan tidak bertindak terkait senjata ilegal dan senjata api di tangan geng yang beroperasi di desa-desa Palestina di dalam ‘‘Israel’’, menyebarkan kekerasan dan menyebabkan kematian penduduk yang tidak bersalah.
“Lima belas tahun lalu, kami tidak mengalami kejahatan dan kekerasan seperti saat ini, meskipun hanya sedikit kantor polisi ‘‘Israel’’ [di wilayah mayoritas Palestina)],” katanya. “Tapi hari ini, ada lebih banyak kantor polisi dan lebih banyak kejahatan di desa-desa Arab.”
Pada Oktober 2019, komunitas Palestina di ‘‘Israel’’ meluncurkan konvoi mobil massal yang melaju perlahan di salah satu jalan raya tersibuk di negara itu, membuatnya hampir terhenti, sebagai protes terhadap kelambanan polisi ‘‘Israel’’ atas penyebaran senjata di tangan geng. Bagi Adalah, penggunaan penegakan hukum secara selektif dalam komunitas Palestina ‘‘Israel’’ merupakan gejala dari status populasi ini di mata negara.
“Sebuah lingkungan perumahan diubah menjadi medan perang dan tembakan polisi sekali lagi melukai warga Palestina yang tidak bersalah, tetapi komandan polisi ‘‘Israel’’ Shimon Lavi segera memuji para perwiranya,” tulis organisasi itu. “Inilah yang terlihat ketika pasukan polisi ‘‘Israel’’ secara rutin memperlakukan warga Palestina sebagai musuh dan menutupi tindakan mematikannya,” tambahnya.*