Hidayullah.com—Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas memicu gelombang kemarahan rakyat Arab dan pengguna media sosial menyusul pernyataan terbarunya, mencakup serangan tajam dan pernyaan merendahkan kelompok perlawanan Palestina di Gaza, khususnya Hamas.
Pernyataan itu disampaikannya saat pembukaan sidang ke-32 Dewan Pusat Palestina, di mana ia menuntut penyerahan tawanan ‘Israel’ yang ditahan oleh kelompok perlawanan, dengan menggunakan bahasa tidak pantas, menggambarkan Hamas sebagai “anak anjing”.
Abbas mengatakan para sandera memberikan alasan bagi ‘Israel’ untuk terus menyerang wilayah yang terkepung.
“Anak-anak anjing melepaskan para sandera dan menyangkal pembenaran mereka,” kata Abbas dalam pidato panjang yang disiarkan televisi dari Ramallah di Tepi Barat yang diduduki pada hari Rabu (23/4/2025).
Dalam pidatonya selama satu jam, Abbas meninjau kerugian yang dialami warga Palestina sejak dimulainya genosida ‘Israel’.
Kritik Media Sosial
Pernyataan Mahmoud Abbas itu adalah yang paling keras terhadap kelompok itu yang disampaikan presiden sejak perang dimulai 18 bulan lalu.
Pernyataan Abbas dikutuk secara luas di media sosial, dengan banyak aktivis dan penulis mencuit kemarahan dan kekecewaan. Mereka mengkritik posisi PA dan Mahmoud Abbas digambarkan sebagai kelompok yang berpihak pada penjajah ‘Israel’, alih-alih berfokus pada penderitaan rakyat Palestina yang dikepung dan diserang terus-menerus.
“Demi Allah, tidak ada warga Palestina yang akan merasa terhormat jika memiliki orang ini sebagai presiden mereka. Ia berhenti mengutuk musuh rakyat Palestina, yang bersikap keras dan gagal dalam kesepakatan tahanan, sebagaimana dibuktikan oleh para mediator dan semua orang yang berpikiran adil, untuk menyerang Hamas dengan bahasa cabul yang hanya pantas bagi segelintir anggota gerakan yang telah berbalik melawan dirinya sendiri dan menempatkan dirinya dalam pelayanan pendudukan,” kata seorang pemilik akun X.
Netixen lain menambahkan, “Mahmoud Abbas adalah salah satu alasan pemborosan hak-hak Palestina, dan dia adalah faktor kunci yang memungkinkan pendudukan menguasai wilayah Palestina. Dia tidak layak menjadi pemimpin atau presiden yang mewakili perjuangan Palestina. Awal dari berakhirnya penjajah dimulai dengan berakhirnya kekuasaan Abbas.”
Seorang anggota biro politik Hamas, Bassem Naim, mengkritik keputusan Abbas untuk “menggambarkan bagian penting dan integral dari rakyatnya sendiri dengan menggunakan bahasa yang merendahkan”, menurut kantor berita AFP.
“Abbas berulang kali dan dengan curiga menyalahkan rakyat kami atas kejahatan pendudukan dan agresi yang sedang berlangsung,” tambahnya.
Diketahui, Mahmoud Abbas dan kelompoknya tidak pernah mengutuk serangan genosida 7 Oktober terhadap ‘Israel’, namun ia meminta dukungan penjajah dan AS untuk bisa mengelola Jalur Gaza setelah hancur.
Pidato Abbas memaparkan visinya untuk mendirikan negara Palestina, menyerukan diakhirinya perang di Gaza, dan memperbarui seruan untuk menyatukan faksi-faksi politik Palestina di bawah naungan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang sekuler.
“Hamas harus mengakhiri kontrolnya atas Jalur Gaza, menyerahkan semua urusannya kepada Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Nasional Palestina, memilih tidak melawan penjajah, dan berubah menjadi partai politik yang beroperasi sesuai dengan hukum negara Palestina dan mematuhi legitimasi internasional,” dikutip CNN.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) adalah aliansi pihak-pihak yang menandatangani perjanjian damai dengan penjajah ‘Israel’ pada tahun 1993 dan membentuk pemerintahan baru di Otoritas Palestina dengan janji-janji kenegaraan yang menjadikan dirinya hanya boneka.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Nasional Palestina (ONP) merupakan dua entitas politik penting dalam perjuangan rakyat Palestina, dan keduanya didominasi oleh kelompok Fatah, yang berhaluan sekuler.
Otoritas Palestina (Otoritas Nasional Palestina / Palestinian Authority – PA) didirikan pada tahun 1994, sebagai hasil dari Perjanjian Oslo yang ditandatangani antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan penjajah ‘Israel’ pada tahun 1993.
Degan kesepakatan itu PAyang dipimpin Yasser Araraf (1996-2004) lebih memilihberdamai dengan penjajah, sementara Hamas yang didominasi kelompok Islam, tidak mengakui eksistensi “negara palsu ‘Israel’”, menolak Perjanjian Oslo, dan tetap mengangkat senjata untuk merebut kembali negerinya yang dijajah.
Mahmoud Abbas secara resmi menggantikan Yasser Arafat sebagai Presiden Otoritas Palestina (PA) pada tanggal 15 Januari 2005, setelah pemilu presiden Palestina yang digelar pada 9 Januari 2005.
Hamas dan PA terpecah belah beberapa beberapa dekade. Otoritas Palestina (PA) menguasai wilatah Tepi Barat, sementara pemerintahan Hamas menguasai Jalur Gaza.
Sampai hari ini popolaritas Mahmoud Abbas (89 tahun) terus menurun di mata rakyat Palestina. Ia dan kelompoknya dianggap tidak relevan dan dianggap banyak terlibat korupsi.
Bulan Desember 2023, sebuah jajak pendapat terhadap warga Palestina di tengah kehancuran Gaza menunjukkan peningkatan dukungan terhadap pejuang Hamas.
Sebanyak 90% warga bahkan menolak Presiden Otoritas Palestina (PA) yang didukung Barat dan penjajah ‘‘Israel’’, Mahmoud Abbas, dan meminta dirinya mundur teratur.
Jajak pendapat terbaru ini dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina (PSR) di Tepi Barat dan Jalur Gaza antara tanggal 22 November dan 2 Desember 2023.
Dr. Khalil Al-Shaqaqi, Direktur PRS mengatakan dukungan terhadap PA semakin menurun, dan hampir 60% kini mengatakan bahwa PA harus dibubarkan.
“Tingkat anti-Amerikanisme dan anti-Barat sangat besar di kalangan warga Palestina karena sikap mereka terhadap hukum kemanusiaan internasional dan apa yang terjadi di Gaza,” kata Shaqaqi.*