DAMPAK dari kasus penyadapan telepon Presiden Republik Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Australia akhirnya membuat hubungan Indonesia-Australia makin meruncing.
Menanggapi ini, Senin (18/11/2013), pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, memberitakan telah memanggil Dubes Indonesia di Canberra.
Menyusul sikap Australia yang tak merasa bersalah dan minta maaf, SBY melalui Kementerian Pertahanan Indonesia menyatakan telah menghentikan setidaknya tiga kerja sama militer dengan Australia.
Hidayatullah.com melakukan wawancara dengan Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya atas kasus ini.
Bagaimana menurut Anda kasus ini?
Saya sepakat usulan kompolnas agar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menghentikan kerjasama apapun dengan pihak Australia.
Apa Alasannya?
Saya lihat ini bukan sekedar sebagai sikap politik, tapi saya kira justru karena di titik-titik kerjasama itulah bagaimana operasi intelijen termasuk penyadapan oleh Australia bisa dioperasionalkan.
Selama ini Australia konsen membantu pihak Polri dalam bidang teknologi cyber crime, demikian juga untuk teknologi kepentingan kontra terorisme yang di operasionalkan oleh Densus 88 dan pengembangan Densus 88. Ditambah Australia juga turut membiayai dan terlibat di pusat pendidikan kontra-terorisme Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) di Semarang. Bukan tidak mungkin melalui jalur itu Australia banyak memanfaatkan untuk mengkoleksi data-data yang dibutuhkan untuk kepentingan-kepentingan domestik Australia.
Bukankah kerjasama itu hal biasa saja?
Ada istilah “tidak ada makan siang yang gratis”. Pakem ini tetap membuka peluang mereka mengambil “kompensasi” atas bantuan yang diberikan kepada Indonesia via instrumen Polri. Dan itu bisa langsung via teknologi yang dicangkokkan pada teknologi yang dioperasikan Polri atau melalui “agen-agen” lokal yang mendapat fasilitas dari pemerintah Australia.
Selain itu apa langkah pemerintah yang bisa dilakukan?
Perlu audit teknologi yang diperbantukan, jangan sampai justru di sana ada komponen hardware maupun software untuk aktifitas spionase dijalankan.
Jika hasil kerjasama dengan Australia seperti Densus 88 dihentikan apa ada pengaruhnya?
Jika kerjasama dengan Australia dihentikan, Densus 88 sedikit akan terganggu karena dihentikannya beberapa bantuan (hibah) dan supervisi. Tapi bisa juga tetap eksis karena dibalik Densus 88 itu masih ada Amerika Serikat (AS), Uni Eropa dan negara donatur lainnya yang komitment membantu. Bahkan jika Presiden RI sendiri masih mengokohkan eksistensinya Densus 88. Karena itu saya berharap ada momen yang akan memaksa Densus harus dibubarkan dan dihentikan, terutama semua bantuan dari Amerika dan sekutunya. Karena sesungguhnya bantuan tersebut bisa menjadi topeng imperialisme terselubung negara-negara donor*