BELUM lama ini, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menuturkan DPR dan pemerintah akan merampungkan beberapa rancangan undang-undang yang menjadi skala prioritas pada akhir masa persidangan III DPR tahun sidang 2017-2018.
Salah satunya adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sebagian kecil masyarakat melakukan penolakan terhadap RUU KUHP atau RKUHP ini. Padahal Revisi KUHP perlu dilakukan mengingat KUHP yang kita gunakan sampai hari ini adalah produk Penjajah Belanda yang tidak semua nilainya sesuai dengan Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia yang berketuhanan.
Di antara penolakan terbesar terutama pada pasal-pasal terkait pernikahan, zina, dan hubungan sesama jenis yang banyak mengandung aspek perluasan makna.
Para penolak berdalih bahwa hukum-hukum baru tersebut akan merugikan masyarakat luas.
Benarkah RKUHP ini merugikan? Bagaimana sikap kita?
Hidayatullah.com mewawancarai Direktur the Center for Gender Studies (CGS), Dr Dinar Dewi Kania.
Bersama kaum ibu yang peduli masa depan keluarga yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga (AILA) sejak awal berjuang melawan maraknya kampanye gerakan LGBT dengan melakukan Judicial Review (Uji Materi), meski permohonannya ditolak oleh Mahkamah Kontitusi pada Desember 2017 tahun lalu. Inilah petikan wawancaranya.
Bagaimana sikap AILA dengan RUKHP yang tengah digodok DPR?
RUU KUHP itu harus dikawal bukan ditolak. Kenapa? Karena ada pasal pasal yang sudah lebih mengakomodasi nilai nilai agama dan moralitas dibanding KUHP yang berlaku saat ini seperti zina, pelarangan promosi alat kontrasepsi di muka umum kecuali bagi petugas yang ditunjuk resmi. Perluasan pasal cabul sesama jenis yang mencakup usia di atas 18 tahun, dll.
Walaupun ada pasal-pasal yang kurang sesuai aspirasi, misalnya pasal penodaan kepada Pancasila dan menghinda presiden dipenjara, namun bukan berarti RUU KUHP ini harus ditolak seluruhnya.
Lebih tepatnya harus dikawal dan didesak. Jangan ditunda lagi pengesahannya karena pembahasan RUU KUHP ini sudah sangat lama dan belum juga rampung. Ini merugikan karena dengan ditolaknya Judicial Review (Uji Materi) AILA di Mahkamah Konstitusi (MK) maka terus terjadi kekosongan hukum untuk menindak pelaku penyimpangan seksual seperti Lesbian, Homoseksual, Biseksual dan Transgender, Zina dan Perkosaan kepada laki laki. Padahal kejahatan dan penyimpangan seksual semakin marak, termasuk di dalamnya promosi LGBT.
Di mana titik krusial bagi masyarakat agar bisa memantau RUU ini, agar masyarakat tahu?
Pertama, dalam Pasal 284 KUHP, yang dinyatakan terlarang adalah perzinaan bagi pasangan yang terikat pernikahan saja. Artinya, hubungan itu tidak dinyatakan terlarang jika kedua pelakunya belum menikah. Pasal ini di RUU KUHP menjadi Pasal 484 yang mencakup zina baik bagi yang sudah menikah ataupun belum menikah karena untuk melindungi bangsa Indonesia dari seks bebas yang semakin marak.
Kedua, dalam Pasal 285 KUHP, pemerkosaan telah dinyatakan terlarang, namun pemerkosaan didefinisikan sebagai pemaksaan oleh seorang lelaki terhadap perempuan. Padahal, dengan merebaknya homoseksualitas saat ini, banyak juga lelaki yang menjadi korban pemerkosaan. Pasal ini sekarang menjadi pasal 423 yang tidak saja melindungi korban perempuan tapi juga laki laki.
Ketiga, dalam Pasal 292 KUHP, hubungan sejenis yang dinyatakan terlarang hanya terbatas jika dilakukan dengan anak-anak. Padahal perilaku homoseks tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang religius, juga tidak sejalan dengan adat dan kepribadian bangsa. Oleh karena itu di dalam RUU KUHP pasal 495 diharapkan dapat juga mencakup cabul sesama jenis di atas 18 tahun.
Perluasan makna ini justru akan melindungi semua pihak jadi tidak hanya anak-anak saja yang terlindungi. dan Bila pelakunya anak-anak ada UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang menjadi payung hukum bagi mereka.
Baca: RUU KUHP, Penggiat Keluarga Dorong DPR Masukkan Pasal Homoseksual
Ada beberapa LSM demo menentang RUU KUHP?
Demo itu hak setiap anggota masyarakat. Jadi itu hal yang wajar namun kita bisa menyaksikan siapa-siapa saja LSM dan tokoh tokoh pendukung penolakan RUU KUHP ini. Banyak di antara mereka memang golongan pendukung LGBT dan pengusung liberalisme.

Kampanye penolakan terhadap RUU KUHP pun sayangnya tidak disadari dampaknya bagi masyarakat umum yang terpengaruh kampanye ngawur mereka.
Contohnya, sekarang mereka mengatakan RUU KUHP akan ‘mengkriminalisasi pelaku nikah sirri’. Sejak kapan kelompok liberal membela nikah sirri? Lagi pula nikah sirri dan zina jelas-jelas beda. Nikah sirri ada saksi, ada rukun lainnya yang harus dipenuhi. Nikah sirri dan adat itu diakui oleh negara jadi ini ada penyesatan opini yang disengaja untuk menolak RUU KUHP dan melanggengkan KUHP warisan belanda. Sekarang mereka ndompleng dalam kasus nikah sirri. *** (bersambung)