Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil
Hidayatullah.com–Pemerintah baru saja mengangkat Hamid Fahmy Zarkasyi sebagai guru besar filsafat. Tentu ini kabar gembira bagi umat Islam di Indonesia.
Hamid, demikian biasa dipanggil, dikenal gigih mengkaji peradaban Barat. Di antaranya, ia pernah menulis buku berjudul Misykat, Refleksi tentang Westernisasi & Liberalisasi.
Di lihat judulnya jelas, buku ini berisi tanggapan terhadap pembaratan dan liberalisasi Islam. “Pemikiran harus dihadapi dengan pemikiran, tidak bisa dengan demo,” kata Hamid yang pernah menjadi Direktur INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations), sebuah lembaga penelitian dan kajian yang sangat konsen pada kajian pemikiran dan peradaban.
Putra KH Imam Zarkasyi, pendiri Pesantren Darusallam, Gontor, Ponorogo ini juga membuat Program Kaderisasi Ulama (PKU) di ISID. Program ini diikuti ulama-ulama muda dari berbagai pesantren dan berlangsung selama 6 bulan. Kini, sudah berjalan 13 angkatan.
“Tujuannya membekali para ulama agar paham soal peradaban Barat dan mampu menangkal virus-virus pemikiran dari Barat yang merusak Islam,” jelas Hamid yang meraih doktor dari Malaysia ini.
Di UNIDA pula Hamid mendirikan Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS). Lembaga kajian ini aktif menggelar kajian-kajian, terutama terkait dengan peradaban Islam dan Barat.
Apakah dengan demikian Hamid anti Barat? Untuk mendapat jawabannya, di suatu malam beberapa waktu lalu, Bambang Subagyo dari Hidayatullah.com menemui Hamid di kantornya. Berikut petikan obrolannya:
Anda sangat kritis terhadap Barat. Tak takut dituduh anti Barat?
Orang yang menuduh begitu, kebanyakan tidak memahami Barat. Itu satu. Kedua, mereka kebanyakan pemahaman Islamnya tidak scientific (ilmiah). Ketika saya menjelaskan perbedaan Barat dengan Islam, orang tersebut berkesimpulan begini: mengapa kita harus membeda-bedakan Islam dan Barat, yang pada akhirnya kita akan melakukan pemilahan: kafir atau bukan. Kalau kafir maka layak dibunuh. Inilah, katanya, yang menyebabkan terorisme.
Jawaban Anda?
Jawaban saya gampang saja. Kita membicarakan Islam dan Barat bukan dalam konteks ideologi, tapi dalam konteks epistimologi atau ilmu. Tugasnya ilmuwan adalah membedakan, kalau tidak mampu membedakan bukan ilmuwan namanya.
Membedakan konsep-konsep Islam dan Barat itu wajib bagi kita. Al-Qur`an sendiri julukannya al-furqan, pembeda atau penjelas. Jika kita tak bisa membedakan mana yang Islam dan mana yang tidak, kapan kita beridentitas Muslim. Jika Barat dan Islam sama, kita tak perlu identitas.
Lalu mengapa saya mengkritik Barat? Di dunia ilmiah kritik itu biasa. Jangankan kita, orang Barat sendiri mengkritik Barat. Lantas, mengapa kita mengkritik Barat jadi salah. Itu berarti, orang yang mengkritik saya jelas pro Barat. Atau ia terlalu memuja Barat, sehingga saat Barat dikritik, ia marah.
Apa sisi negatif Barat sehingga Anda begitu kritis?
Barat itu peradaban yang punya karakter sendiri yang sangat berbeda dengan Islam. Karena itu, kita mesti berhati-hati bila ingin mengambil atau diberi sesuatu dari Barat, sebab bisa jadi sangat bertentangan dengan Islam. Dalam hal ini, kita tidak bisa pakai ukuran baik atau buruk. Sesuatu yang buruk menurut kita, bisa jadi baik bagi barat. Contohnya, hidup bersama tanpa nikah. Bagi masyarakat Barat itu baik-baik saja, sejauh tidak mengganggu orang lain dan mereka suka sama suka.
Sisi lain lagi, inti dari peradaban adalah worldview (pandangan hidup). Nah, worldview yang satu tidak bisa mengkritik atau menyalahkan worldview yang lain. Masing-masing merasa worldviewnya yang paling baik dan benar. Itu wajar dan memang harus begitu.
Barat dalam konteks ini bukan persoalan letak geografis, tetapi lebih mencerminkan pandangan hidup atau suatu peradaban. Pandangan hidup Barat, seperti dijelaskan Hamid di dalam buku Misykat, cirinya adalah scientific worldview (pandangan hidup keilmuan). Artinya, cara pandang terhadap alam ini melulu keilmuan dan tidak lagi religius.
Menurut pandangan Barat, hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris tidak dapat diterima, termasuk metafisika dan teologi.
Ciri dari worldview yang saintifik itu, masih kata Hamid di dalam buku Misykat, tercermin dari berkembangnya paham-paham seperti empirisisme, rasionalisme, dualisme, pragmatisme dan sebagainya. Paham-paham itu semua otomatis meminggirkan agama dari peradaban Barat.
Lantas, mana yang lebih baik antara peradaban Barat dan peradaban Islam?
Pandangan kita sebagai Muslim adalah Islam punya konsep tersendiri, sedangkan Barat juga punya konsep sendiri. Keduanya tidak bisa dicampuradukan. Jadi, kita tidak bisa mengukur Barat dengan Islam, pun sebaliknya. Orang Barat tidak bisa mengukur Islam dengan Barat. Menggunakan terminologi Barat untuk memahami Islam juga tidak bisa. Ini yang harus kita jaga.
Yang bisa kita lakukan adalah berkompetisi, begitu?
Iya. Dalam bahasa Al-Attas (Prof Dr Syed Mohammad Naquib al-Attas, gurunya Hamid di ISTAC/The International Institute of Islamic Thought and Civilization) terjadi konfrontasi abadi. Keduanya tidak akan pernah cocok karena worldview-nya memang beda. Itu belum pada tataran konsep, misalnya konsep keluarga beda, konsep pendidikan beda. Pokoknya hampir semuanya beda.
Maka yang diperlukan adalah dialog peradaban, bukan dialog agama. Sayangnya, Barat menganggap Islam itu sekadar agama. Barat tidak mau melihat Islam sebagai peradaban, sebab mereka memang ingin menguasai. Seakan Barat berkata begini, “Islam agama sajalah, peradaban kita yang ngatur. Kamu di masjid saja, politik, ekonomi kita yang ngatur.” Karena itu, mereka tidak pernah bicara Islam sebagai peradaban.
Bagaimana agar kita bisa memenangkan konfrontasi itu?
Menurut saya, kita harus kembali kepada tradisi ilmu. Kita kalah pada bidang ini. Karena itu, kita harus memperkuat ilmu. Dan ilmu adanya di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikanlah yang mencetak individu-individu, sedangkan masyarakat terbentuk dari individu-individu yang banyak. Permasalahannya, bagaimana kita mau membentuk masyarakat yang baik kalau lembaga pendidikannya tidak efektif.
Jika masyarakatnya berkualitas, ia tidak akan bisa dikuasai. Sebab, ia punya ilmu dan sistem yang menjadi filter untuk menyeleksi. Sekarang ini, hampir semua sistem pendidikan di negara-negara Islam dikuasai oleh Barat.
Al-Attas menyadari itu, makanya ia menyeru umat Islam agar punya universitas sendiri guna mengembangkan ilmu-ilmu Islam. Dengan ilmu itu selanjutnya melakukan islamisasi ilmu-ilmu dari Barat. Dengan itu Barat tak lagi bisa menghegemoni, karena kita mampu menyeleksi.
Apa nilai yang Anda tangkap dari ayahanda?
Waktu kelas V (di Gontor) saya disuruh menulis cerita beliau ke dalam bahasa Arab. Itu untuk melatih bahasa Arab saya. Waktu mahasiswa beda lagi. Saya diberi buku dan disuruh baca. Minggu depannya saya diminta cerita isi buku tersebut.
Saya oleh beliau diobsesikan seperti Mukti Ali, mantan Menteri Agama. Dia memperoleh gelar doktor dari Pakistan, karena itu saya dikirim ke sana juga. Waktu saya berangkat itulah pertemuan saya terakhir dengan Ayah. Saat saya di Pakistan beliau wafat. Sebelum meninggal, beliau sempat berpesan, “Kamu harus meraih doktor. Ilmumu tak hanya bermanfaat bagi Gontor, tapi juga Indonesia.” Alhamdulillah, saya bisa menjalankan wasiat beliau.*