Hidayatullah.com–Beberapa tahun lalu. Sebelum pulang kantor, Zaim Saidi acapkali belanja di sebuah minimarket samping kantornya di kawasan Depok, Jawa Barat. Seperti halnya sore itu.
Pria tinggi berkacamata ini sedang berbelanja beberapa keperluan, seperti sirup, roti, dan satu kilogram telur. Semua barang itu ditaruhnya di meja kasir. Dengan sigap kasir menghitung seluruh harga barang yang dibeli oleh Zaim. “Seluruhnya jadi Rp 65.000, Pak,” ujar sang kasir.
Dari dalam dompetnya, Zaim, demikian biasa dipanggil, malah nampak sibuk memilih kepingan-kepingan koin. Padahal semestinya ia harus segera membayar belanjaan itu, dengan uang kertas pecahan Rp 50.000, Rp 10.000, dan Rp 5.000. Atau, cukup dengan selembar uang kertas Rp 100.000. Tapi, ia justru hanya menyerahkan satu keping koin kepada kasir. “Saya membayar dengan dirham. Terima kan?” tanya Zaim.
“Iya, Pak,” jawab kasir itu. Transaksi pun selesai, sambil membawa kantung belanjaan, Zaim bergegas pulang.
Aneh? Bagi orang lain mungkin. Tapi tidak bagi Zaim. Ia sudah biasa belanja dengan dirham atau dinar. Bukan hanya pemakai, Zaim juga dikenal sebagai penggiat dinar dan dirham yang getol, bahkan sejak tahun 1999.
Sebagai penggiat, tentu saja ia selalu membawa kepingan emas dan perak itu kemanapun, terutama dirham. “Kalau bawa dinar sangat jarang, paling jika untuk transaksi besar. Tapi kalau sehari-hari, cukup dengan membawa dirham,” ujar pria kelahiran Parakan, Kab Temanggung, Jawa Tengah ini.
Alumnus Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengaku, selalu menggunakan dinar atau dirham setiap membeli sesuatu. Meski tempat itu ia tahu belum bisa menerima dirham. Justru, katanya, inilah kesempatan untuk memberitahukan dan mengajarkan kepada masyarakat. “Biasanya yang saya ajukan pertama adalah dirham, kalau dia tidak tahu dan bertanya, baru saya jelaskan,” akunya.
Bagaimana menjelaskannya? “Ya saya sampaikan bahwa ini adalah dinar dan dirham, mata uang emas dan perak. Ini uang yang diwariskan oleh Nabi SAW. Ini Sunnah yang hilang, yang harus dikembalikan oleh umat Islam. Sesudah itu saya jelaskan manfaat menggunakan dinar dan dirham. Bahwa dengan dinar dan dirham itu pemiskinan bisa kita hentikan, karena uang kertas adalah alat untuk memiskinkan kita. Bahwa dengan uang kertas itulah kita dirampok,” ulasnya.
Selanjutnya, bagi Zaim, tergantung keputusan mereka masing-masing. Begitulah sikap yang diambil oleh pria kelahiran 40 tahun silam ini. Sikap ini juga yang ia yakini ketika berkali-kali sosialisasi tentang dinar dirham ke pesantren-pesantren, ormas-ormas Islam, media massa, atau melalui tulisan, seminar, dan pelatihan.
Pertengahan September 2012 lalu, penulis buku “Ilusi Demokrasi: Kritik dan Otokritik Islam” (2007) ini berkenan menerima wartawan Suara Hidayatullah, Ahmad Damanik, dan fotografer, Muh Abdus Syakur di kantornya, Jl M Ali, Tanah Baru, Depok, Jawa Barat.
Menurut Zaim, justru yang sulit menerima penjelasannya adalah para ekonom, terutama ekonom Islam. Kok bisa?
Berikut petikan wawancaranya. Selamat membaca.*
Apa yang membuat Anda begitu gigih mensosialisasikan dinar dirham kepada masyarakat?
Umat Islam saat ini dalam posisi tertindas oleh sistem kapitalisme. Kapitalisme ini didasarkan kepada sebuah prinsip penundaan (an-nasiah) melalui kredit dan penggelembungan (al-fadhl) melalui bunga. Jadilah kredit berbunga. Dalam prakteknya, kapitalime ini ditopang dengan tiga pilar. Pertama, uang kertas. Kedua, sistem perbankan. Ketiga, pemajakan.
Sistem riba yang berdasarkan pada penggelembungan dan penundaan itu kezaliman yang luar biasa berupa pemiskinan terus menerus yang timbul dari defresiasi uang kertas. Seolah-olah setiap saat harga-harga naik, sehingga mata uang semakin hari semakin tidak bernilai. Ini sudah diindikasikan oleh Rasulullah, “Akan datang satu zaman dimana semua yang kamu miliki tidak punya nilai, kecuali dinar dan dirham.”
Bagaimana seharusnya kita menyikapinya, sementara riba telah ada dalam semua aspek ekonomi manusia?
Di situlah pertarungan yang harus dilakukan umat Islam. Tinggalkan kapitalisme dan menjalankan yang hak, yaitu muamalah. Pekerjaan saya sekarang mengajak dan memberitahukan umat Islam untuk kembali ke muamalah sebagaimana diperintahkan Rasulullah SAW.
Apa maksud Anda bermuamalah dengan dinar dan dirham?
Ya begitu, bermuamalah dengan dinar dan dirham, dengan sendirinya merdeka dari kapitalisme. Itu artinya tidak butuh lagi dengan rupiah. Dan ketika tidak ada rupiah, tidak ada lagi Bank Indonesia. Ketika tidak ada Bank Indonesia, tidak akan ada lagi bank-bank lain.
Kaidah yang harus dilakukan adalah tegakkan yang hak, maka yang batil pasti musnah. Sekarang ini umat Islam terjebak dalam gerobak kapitalisme, bukan menegakkan yang hak, tapi mencoba menghalalkan yang haram. Tidak bisa kita menghilangkan kapitalisme dengan cara bank Islam, yang terjadi adalah barang haram menjadi halal.
Dinar dan dirham masih banyak masyarakat belum tahu. Bagaimana tantangan yang Anda hadapi menjelaskan kepada masyarakat?
Tidak ada yang sulit, yang membuat sulit itu diri kita sendiri. Upaya kita adalah lakukan dan mencontohkan. Begitu ada dinar dan dirham, orang baru memahami. Tugas saya agar masyarakat memahami dengan membuat pasar, supaya masyarakat tahu bahwa dinar dan dirham itu digunakan untuk bertransaksi dan bayar zakat.
Banyak orang yang bicara berbusa-busa soal dinar dirham, tapi tidak pernah pegang dinar. Lakukan, amalkan, dan bicara. Dengan begitu orang mengerti apa yang kita bicarakan dan mengerti.
Banyak umat Islam yang membeli dinar, sebab dianggap menguntungkan jika dijual kembali…
Orang-orang seperti itu sesungguhnya tidak mengerti. Memang ada yang menjadikan dinar dirham sebagai komoditi dengan tetap memakan uang kertas.
Apa upaya yang Anda lakukan agar dinar dan dirham dapat dijadikan sebagai alat transaksi pembayaran?
Setelah saya mencetak dinar dan dirham, selanjutnya yang saya lakukan adalah membuat pasar. Saya membuat program yang dinamakan Festival Hari Pasaran (FHP) yang diikuti oleh anggota Jaringan Wirausaha Pengguna Dinar Dirham Nusantara. Saat ini tempatnya masih berpindah-pindah, namun insya Allah kita sedang mengupayakan untuk membangun pasar tetap yang akan dibangun di daerah Sawangan, Depok. Saat ini baru dalam tahap pembebasan lahan.
Itu artinya memang masih terbatas masyarakat yang dapat bertransaksi dengan dinar dan dirham?
Ya betul, saya sendiri belum bisa setiap hari transaksi menggunakan dinar dirham. Kalau di dekat sini bisa, tapi di tempat lain belum tentu. Hanya saja, setiap kali transaksi membayar sesuatu saya selalu menawarkan untuk membayar dan dibayar dengan dirham. Kalau mereka tidak mau, ya sudah apa boleh buat, ini masa transisi. Tapi di dompet saya selalu tersedia dirham.
Namun perlu diingat, bahwa ini tugas setiap Muslim, hukumnya menjadi fardhu ain. Mengajarkannya hukumnya fardhu kifayah.
Jadi dalam hal membuat pasar pun perlu ada upaya serius dari umat Islam lainnya?
Yang namanya fardhu kifayah, kalau tidak ada satu pun Muslim yang menjalankan maka kita dosa semua. Maka perlu ada sebagian orang yang menjalankan amar maruf ini. Tidak berarti kalau sudah buat pasar di Depok, berarti sudah cukup bagi Muslim yang di Jawa Tengah. Di sana pun perlu dibuat sendiri.
Di atas Anda mengatakan bahwa kesulitan menjelaskan soal dinar dan dirham ini justru kepada ekonom Islam. Mengapa?
Karena mereka sudah terdoktrinasi, tidak bisa melihat bahwa sistem uang kertas ini masalah. Selain itu juga didasari dengan kepentingan. Itu yang paling sulit.
Anda yakin dengan cara ini dapat mengalahkan kapitalisme yang sudah sedemikian menggurita ini?
Barang hak itu kalau sudah hadir akan menggulir dengan sendirinya. Saya tidak melakukan apa-apa. Semua ini Allah yang menggerakkan. Allah suruh membuat dinar dirham, saya cetak dinar dirham. Rasulullah suruh buat pasar, kita buat pasar. Kita tidak akan bisa berbuat apa-apa melawan kapitalisme yang sudah massif begini. Tapi, bismillahirrahmanirrahim, Allah akan menjalankan ini semua, kita hanya mengikuti perintah-Nya.*