BEBERAPA tahun belakangan ini gesekan yang terjadi di masyarakat dilatar-belakangi perbedaan furu’iyah (cabang dalam agama) pada posisi mencemaskan. Apakah gesekan ini bisa reda atau makin melebar?
Apakah kekalahan umat Islam saat Perang Salib dalam kondisi yang sama seperti saat ini, di mana sesama Ahlus Sunnah saling mencela dan mencaci?
Redaksi mewawancarai ahli sejarah Islam, Alwi Alatas. Pria yang juga kolumnis di hidayatullah.com ini telah menulis tak kurang 20 buku sejarah perjuangan Islam. Di antaranya; buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” dan “Shalahuddin Al-Ayyubi dan Perang Salib III”. Inilah petikan wawancaranya;
Bagaimana tanggapan Anda atas fenomena perbedaan pendapat akhir-akhir ini?
Sepanjang perjalanan Sejarah kaum Muslimin, perpecahan kadang memang terjadi, termasuk di kalangan mereka yang berpaham Ahlus Sunnah.
Untuk kalangan Ahlus Sunnah sendiri, perpecahan ini biasanya dipicu oleh kuatnya fanatisme kelompok. Pada jaman dulu pernah terjadi perselisihan yang kuat di antara madzhab filkih yang empat (yakni mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah; Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali).
Umumnya banyak penganut madzhab sangat fanatik terhadap madzhabnya dan cenderung memusuhi ulama atau orang-orang dari madzhab yang berbeda.
Kalau pada jaman sekarang mungkin terjadi di antara kelompok pergerakan (harakah) yang berbeda, di samping kelompok keagamaan lainnya.
Masing-masing kelompok memiliki ijtihad untuk berdakwah dan membangun umat. Tapi kadang tanpa disadari fanatisme kelompok itu, besar ataupun kecil, berlaku juga. Dalam bentuknya yang paling ringan, perpecahan itu terjadi dalam bentuk keengganan dan kesulitan untuk bekerja sama. Yang berat, kalau sampai terjadi saling fitnah dan serang. Hal semacam ini tentu sangat merugikan dan melemahkan umat.
Bagaimana dengan kalangan Ahlus Sunnah di Indonesia?
Saya sendiri melihat kalangan Ahlu Sunnah di Indonesia masih cukup mampu berpandangan jernih berkenaan dengan hal ini sehingga mereka bisa menahan diri dan bisa didorong ke arah persatuan. Tapi tantangan yang dihadapi pada hari ini memerlukan sesuatu yang lebih dari itu. Mereka tidak mungkin bangkit sebelum mereka mampu mengatasi perbedaannya dan benar-benar berukhuwah.
Apa perbedaan-perbedaan yang seharusnya bisa diatasi agar mencapai pada ukhuwah ini?
Sebetulnya ini tugas para ulama dan pemikir umat. Tapi kita bisa bertanya apakah perbedaan itu dalam hal akidah (keyakinan) atau dalam hal lainnya. Apakah perbedaan dalam masalah yang prinsipil/ pokok (ushul) atau cabang (furu’)? Kalau perbedaannya hanya dalam hal yang tidak prinsipil mengapa harus ribut dan berpecah belah? Bahkan jika ada perbedaan itu dianggap terjadi dalam hal yang prinsipil, jika asal rujukannya adalah sana, tidak mungkinkan diupayakan dialog dan diskusi, ketimbang saling menuduh dan menyerang?
Apa modal utama dalam ukhuwah ini?
Untuk berukhuwah diperlukan kemauan dan keikhlasan semua pihak untuk meminimalisir perbedaan dan mencari titik temu. Apakah umat ini belum cukup mundur dan babak belur menghadapi tantangan jaman yang semakin hebat sehingga kita masih mau terus bercakar-cakaran? (bersambung)