Hidayatullah.com | BULAN Ramadhan, bulan Al-Qur’an. Tak heran, pada bulan suci ini, Al-Qur’an semakin naik daun, semakin viral. Begitu pula para penghafal Al-Qur’an, semakin dicari dan dibutuhkan. Baik sebagai imam shalat maupun pengajar Al-Qur’an.
Di lingkungan Hidayatullah, salah seorang penghafal Al-Qur’an yang namanya sering disebut-sebut saat Ramadhan adalah Ustadz Muhammad Baharun Musaddad, Lc.
Putra pertama dari Ustadz Zainuddin Musaddad (Anggota Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah) ini beberapa tahun belakangan jadi imam tetap tahajjud berjamaah di Masjid Ar-Riyadh, Kampus Induk Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan. Termasuk pada Ramadhan 1444H/2023M saat ini.
Bahkan, jadwalnya menjadi imam shalat bukan cuma di Gunung Tembak, tapi juga di berbagai masjid terutama di sekitaran Balikpapan. Selain jadi imam, ia juga mengajarkan Al-Qur’an.
Lalu bagaimana ceritanya santri penghobi futsal ini bisa jadi penghafal Al-Qur’an? Simak ceritanya yang dikutip dari bincang santai Ramadhan beberapa waktu lalu di Gunung Tembak bersama Ustadz Muhammad Dinul Haq, Lc, Mudir Pendidikan Ulama Zuama (PUZ) STIS Hidayatullah yang juga sahabat Baharun Musadadd.*
Bisa diceritakan awal mula terbetik keinginan menghafal al-Qur’an?
Semuanya berjalan alami saja. Waktu itu, kelas VI (enam) Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Abah tiba-tiba menawarkan untuk lanjut sekolah di pesantren di Bone, Sulawesi Selatan. Sebagai anak, istajabtu (menerima). Pokoknya siap. Tentu dengan dorongan dan motivasi dari abah dan ummi.
Waktu itu hafalan al-Qur’annya bagaimana?
Bisa dibilang sama saja dengan yang lain. Standar umum lulusan MI. Surah-surah umum di juz 30. Andalannya hafal surah an-Naba.
Sebelumnya sudah punya niat menghafal?
Tidak juga. Zaman itu yang ramai adalah lanjut sekolah di Malang atau kota lainnya di Pulau Jawa. Cuma memang abah selalu memberi motivasi soal al-Qur’an. Abah selalu sampaikan, ‘Nak itu ada anaknya ustadz fulan sudah hafal surah al-Baqarah, anaknya ibu ini sudah hafal 4 juz, anaknya bapak ini sudah hafal 3 juz.’ Hal-hal seperti ini memotivasi dan seketika itu mengubah pikiran saya.
Sejak kapan serius menghafal?
Nanti di Pesantren Darul Huffadh, Bone. Sejak kelas I Tsanawiyah. Terkirim doa, semoga seluruh guru dan pengasuh di sana mendapatkan pahala kebaikan dari setiap huruf al-Qur’an yang saya baca selama ini.
Berkaitan motivasi dari abah dan ummi, apa yang paling dirasakan?
Abah dan ummi bukan penghafal al-Qur’an. Namun keduanya sukses mengantar anak-anaknya jadi penghafal al-Qur’an. Sehingga ini bukan alasan yang mengatakan tidak bisa menyuruh anaknya menghafal karena dirinya bukan penghafal al-Qur’an. Tidak terputusnya komunikasi selama proses menghafal di pesantren dan setiap ada ujian atau prestasi apa saja selalu ada yang menguatkan dan mengapresiasi.
Yang paling membekas?
Pertama kali khatam tahun 2006. Waktu itu orangtua tidak bisa datang. Tapi tetap ada apresiasi lewat telepon. “Oh iya, Nak. Alhamdulillah sudah khatam dan ummi janji kirimkan hadiah 500.000 rupiah. Itu mungkin gaji sebulan ummi dan itu besar sekali bagi saya.”
Apa kesan atau pengalaman pertama dalam menghafal?
Berat berpisah dari orangtua.
Ada tips sederhana bagi pemula untuk mudah menghafal?
Pertama, cari guru. Kepada siapa ingin menghafal dan mendapat bimbingan menghafal. Carilah ulama yang memang dikenal penghafal al-Qur’an.
Selanjutnya?
Soal lancar atau belum lancar membaca al-Qur’an, secara jujur waktu pertama kali menghafal, bisa dikata saya juga masih 60 persen. Jadi hampir satu juz dari surah al-Baqarah itu saya hafal dengan cara menuliskan dengan ejaan bahasa Indonesia (latin, red). Misalnya “inna lladzina kafaru” hampir satu juz saya tulis seperti itu.* (Abu Jaulah/MCU/bersambung)