Kamis, 1 Desember 2005
Perjalanan:
Hidayatullah.com–Kairo yang terkenal dengan sebutan kota seribu menara, sepanjang tahun tidak pernah sepi dari turis yang datang dari berbagai negara. Lebih kurang dua puluh menit dari Kairo terdapat madinah Sitta Oktober, sebuah kawasan baru yang dirancang sebagai kota pelajar sekaligus sebagai arena untuk produksi informasi dan perfilman.
Letaknya yang berjarak agak jauh dari jantung kota Kairo membuat kota ini terasa nyaman, jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk ibu kota. Disinilah kami menghabiskan cuti hari raya selama dua minggu.
Untuk sampai ke jantung kota biasanya kami, saya, suami dan seorang anak kami yang masih duduk di kelas V SD menggunakan eltramco sejenis angkot.
Suatu hari seorang bapak bersama tiga orang putra-putrinya yang masih kecil ingin menaiki angkot yang kami tumpangi, sementara hanya ada satu kursi dibelakang dan satunya lagi disamping supir.
Tanpa harus diminta seorang penumpang yang telah duduk dibelakang dengan senang hati pindah kesebelah supir agar bapak ini dapat duduk nyaman bersama anak-anaknya. Pernah seorang kakek tua turun dari kendaraan agak lama, supir seakan-akan minta maaf pada penumpang lainnya, padahal itu bukan ayahnya: “Maaf agak lama, maklum bapak kita tadi sudah tua jadi geraknya agak lambat”.
Sering kami menyaksikan seorang wanita lewat tengah malam turun dari angkot di kawasan padang pasir ini sendirian tanpa rasa takut, karena memang aman.
Sering juga kami melihat wanita sendirian menyetir mobil lewat jam satu malam tanpa rasa khawatir dirampok atau ditodong, padahal tidak terlihat pos-pos keamanan ataupun petugas keamanan yang berjaga-jaga di sepanjang jalan. Dalam hati penulis berkata, “Alangkah indahnya ukhuwah yang terjalin seperti ini”.
Malam-malam lebaran disepanjang sungai Nil terlihat muda-mudi. Mereka saling mengelompok. Pria dengan sesamanya, wanita juga berkelompok dengan sesamanya. Dengan hanya bermodalkan sebuah thablah (gendang), diantara mereka ada yang menari tari perut sementara yang lainnya bertepuk tangan.
Ada juga muda mudi yang duduk santai berduaan. Mereka biasanya adalah pasangan calon pengantin yang sudah direstui melalui pertunangan. Meskipun duduk berduaan namun mereka tetap menjaga kesopanan. Tapi bagi muda mudi yang belum bertunangan, jangan coba-coba untuk berduaan ditempat umum. Sebab jika ketahuan oleh keluarga perempuan, maka si pemuda bisa babak belur.
Sebelas November lalu dalam perjalanan dari Kairo menuju Jeddah, pesawat SV 301 yang saya tumpangi, kami duduk bersebelahan tiga orang manula. Dari percakapan mereka dapat diketahui bahwa mereka berasal dari Suria.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, seorang pemuda (bekewarga-negaraan Saudi) dengan membawa boarding pass menghampiri ketiga wanita tersebut dan mengatakan bahwa seat number-nya diduduki oleh salah seorang diantara mereka. Wanita itupun meminta agar pemuda tersebut mau menempati tempat duduknya yang berada jauh didepan.
Si pemuda melapor pada seorang pramugari. Pramugaripun segera mencarikan tempat duduk untuk pemuda tersebut, dari depan kebelakang, dari kursi satu ke kursi lain. Sampai beberapa orang pramugari berbincang dengan pemuda tersebut, persoalan tidak juga menemukan solusi. Dari kejauhan terlihat si pemuda masih saja berdiri dengan menyandang tas dibahunya. Pramugari satu persatu meninggalkannya.
Waktu sudah larut, pesawat harus segera take off, akhirnya supervisorpun turun tangan. Setelah berbincang sejenak dengan pemuda tersebut, supervisor menghampiri seorang bapak bekewargaan Mesir yang duduk dekat jendela agar bersedia memberikan tempat duduknya kepada pemuda tersebut.
Bapak yang sejak tadi juga turut memperhatikan sikap si pemuda dengan senang hati bergeser ke kursi kosong yang berada disebelahnya. Pramugari yang kebetulan warga negara Indonesia bergumam, “Barangkali dia mengira kalau tidak duduk dipinggir sebelah jendela dia tidak akan sampai di Jeddah”.
***
Lain Kairo lain pula Jeddah. Jeddah adalah gerbang masuk dua kota suci Mekkah dan Madinah adalah kota yang cukup bersih dan teratur.
Di negeri ini orang hidup berkecukupan, baik warga negara Saudi ataupun mukimin yang datang dari berbagai negara.
Suatu hari di musim haji penulis terpaksa kembali dari Mekkah ke Jeddah bersama putra bungsu ketika itu baru berusia 8 tahun dengan menumpang taxi. Musim haji memang selalu zahmah (macet/padat).
Disamping kami berdua ada beberapa penumpang lainnya yang kebetulan semuanya laki-laki. Taxi yang kami tumpangi tiba-tiba belok dari high-way dan mengambil jalan lama yang sepi.
Jantung ini seperti hampir copot ketika taxi terus melaju dijalan yang sepi ini. Dalam hati penulis bertanya apakah saya akan selamat sampai ke tempat tujuan? Ketika penulis ceritakan pengalaman ini pada teman sekerja, dia berkomentar, “Jangankan dari Mekkah ke Jeddah, dalam kota Jeddah saja wusthan nahar (tengah hari bolong) perempuan tidak aman jalan sendiri”.
Jika Kairo indah karena sungai Nil yang membelah kota, Jeddah tidak kurang indah dengan pantai laut merahnya. Disepanjang pantai yang terhampar dari Balad sampai ke Airport tidak terlihat kelompok remaja puteri ataupun muda mudi yang mojok berduaan. Tidak ada yang berani bermesraan di tempat umum meskipun pasangan suami istri atau yang sudah bertunangan.
Jika sepasang pria dan wanita terlihat bermesraan di tempat umum maka muthawi’ (polisi sukarela) akan menanyakan surat nikah. Jika ternyata mereka bukan pasangan suami istri mereka akan dibawa ke kantor polisi dan dikenakan hukuman cambuk masing-masing tujuh kali.
Lain lagi cerita Jakarta, kota metropolitan yang penuh kelap kelip kehidupan malam. Ketika kami sekeluarga berhari raya disana. Setiap kami cuti di tanah air memang cukup membuat sibuk keluarga.
Diantara mereka pasti ada yang mendampingi kami selama berada ditanah air, paling kurang untuk menyetir kendaraan karena disamping tidak hafal lagi jalanan Jakarta yang banyak berubah, kebiasaan setir kiri juga membuat suami agak kagok. Tidak seperti biasanya, agar tidak terlalu mengganggu kesibukan keluarga, pada cuti kali ini suami berinisiatif untuk menyetir sendiri. Penulis terkejut ketika mereka berpesan, “Jangan lupa tutup kaca jendela kalau berhenti di lampu merah”.
Seperti halnya Kairo dan Jeddah, Jakarta juga memiliki pantai Ancol yang indah. Bedanya barangkali apa yang kita saksikan disini tidak kita temui dikedua kota tersebut. Pria wanita baik pasangan suami istri yang sah, ataupun pasangan selingkuh bahkan para remaja biasa bermesraan di tempat ini, terutama dikawasan yang agak remang-remang. Lebih dari itu bagi mereka juga disediakan theater mobil dan tenda-tenda yang dapat disewa yang justru memberikan kesempatan kepada pria dan wanita untuk berbuat mesum.
Tidak ada yang berani menegur karena hal ini dianggap sebagai hak asasi manusia. Dalam hati penulis bertanya, “Beginikah pemahaman bangsa kita, bangsa yang berketuhanan yang maha Esa, terhadap Hak Asasi Manusia? (HAM)”.
Kairo, Jeddah dan Jakarta adalah tiga kota besar yang berada dibawah naungan pemerintahan yang berpenduduk mayoritas Muslim. Namun sangat berbeda dalam membentuk watak dan prilaku sosial warganya, dan sangat kontradiktif dalam memberikan rasa aman bagi penduduk dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Siapakah yang berperan dalam menciptakan sausana seperti itu? Pemerintah, masyarakat itu sendiri, ataukah karena mereka berbeda dalam memahami ukhuwah Islamiyah, sebagaimana perbedaan faham mereka terhadap hak asasi manusia? Wallahu a’lam bishshawab. (Kiriman Dr. Elly Maliki, MA/hidayatullah.com)