Kamis, 1 Desember 2005
Hidayatullah.com– PM Inggris Tony Blair membuka perdebatan sengit seputar energi dan lingkungan, Selasa (29/11) (Rabu WIB) dengan mengatakan pemerintah Inggris akan mempertimbangkan untuk membangun sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir.
Dalam pidato yang sempat ditunda oleh aktifis-aktifis anti nuklir, Blair mengatakan sebuah studi energi yang rencananya rampung musim semi mendatang akan secara spesifik mempertimbangkan seputar pembangunan pembangkit nuklir.
Ia mengakui bahwa pertimbangan kembali niat penggunaan reaktor-reaktor atom untuk menghasilkan tenaga listrik yang memang telah lama ditunda ini merupakan masalah yang “sulit dan menantang”.
“Yang kita butuhkan adalah pembahasan serius, bukan pembahasan yang digelar dengan diwarnai protes atau aksi-aksi demo guna menghentikan orang-orang yang mengekspresikan pandangannya,” tukasnya merujuk pada dua aktifis Greenpeace yang memanjat kasau aula konferensi London dan memaksa pidato Blair dipindahkan ke sebuah lokasi di dekatnya.
Sebagian besar warga Eropa menentang keras pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir sejak terjadinya bencana reaktor Chemobyl tahun 1986 yang meningkat kekhawatiran seputar keselamatannya, namun Blair tidak sendirian dalam mempertimbangkan kembali penggunaan pembangkit tenaga nuklir ini.
Tahun ini, Finlandia menjadi negara Eropa barat pertama yang telah memulai pembangunan sebuah reaktor sejak tahun 1991. Prancis juga telah menghasilkan banyak pembangkit listrik tenaga nuklir dan berencana membangun sebuah reaksi pembangkit baru tahun 2007.
Negara-negara Barat dan Eropa sering mencari alasan untuk menguatkan argumennya bila mereka punya keingininan meski itu dianggap membahayakan kemanusiaan. Kasus ini mungkin agak berbeda jika yang berencana adalah negeri Muslim. Contoh kecil adalah kasus rencana nuklir Iran.
Ketika negeri kaum mullah ini berencana membangun nuklir, tiba-tiba melalui Dewan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA ), sejumlah negara termasuk AS dan Inggris langsung melakukan tekanan dan lobi kepada Dewan Keamanan PBB untuk memberi sanksi. (ap/hid/cha)