Hidayatullah.com | DI depan alat perekam suara dan mikrofon, Ucik Kursih mengajar para muridnya yang menyimak lewat siaran radio dari rumah mereka di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah (Jateng).
Ucik dan beberapa guru di SDN 01 Tegalontar telah menjalani rutinitas itu selama dua bulan terakhir, setelah pemerintah menerapkan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) demi menghindari penyebaran virus corona jenis baru.
Setiap pukul 10 pagi waktu setempat, ruang siaran milik Radio Komunitas PPK Sragi menjadi panggung mengajar mereka.
“Halo anak-anak, bagaimana kabarnya? Semoga tetap semangat belajar di rumah ya,” ujar Ucik menirukan sapaan saat siaran dikutip Anadolu Agency, Rabu (05/08/2020).
Sebenarnya, Ucik tak pernah menjadi penyiar sebelumnya, tapi kini alat perekam suara dan mikrofon menjadi amunisi utama untuk mengajar.
Ia mengakui pada mulanya sangat grogi, tidak tahu apa yang harus ia katakan. Apalagi dalam mengajar itu, para guru melihat muridnya di depan mata.
“Tetapi setelah beberapa kali mencoba, pakai naskah yang disiapkan sama pengelola radio, ternyata malah ketagihan,” ungkapnya.
Program yang dinamai Kelas Mengajar Radio Komunitas (Kejar Rakom) ini tayang setiap pukul 10.00 WIB, dan siaran ulangnya diputar pada pukul 16.00 WIB.
Setiap guru punya waktu setengah jam untuk menyampaikan materi, dengan gaya penyampaian layaknya penyiar radio.
“Awalnya kami khawatir apakah murid-murid akan mendengarkan, tapi lama-lama malah mereka yang enggak mau ketinggalan. Setiap jam 10 sudah standby di dekat radio,” ujar Ucik.
Kadang-kadang, mereka pun memutarkan rekaman suara dari para murid agar proses belajar lebih interaktif. Akan tetapi tak semua materi pelajaran mudah disampaikan melalui siaran radio.
“Matematika itu sulit, karena biasanya kalau di kelas pakai coret-coretan tapi sekarang saya berusaha menjelaskan lewat suara,” tuturnya.
Kejar Rakom muncul berawal dari keterbatasan akses murid SDN 01 Tegalontar mengakses internet untuk sistem belajar jarak jauh. Dari 289 murid SDN 01 Tegalontar, hanya 50 persen atau 144 murid yang punya ponsel. Tapi, tak semua yang punya ponsel lantas mampu membeli kuota internet.
Hal ini membuat sebagian murid tak bisa terlibat secara aktif dalam proses belajar jarak jauh yang sebelumnya mereka lakukan melalui grup Whatsapp.
Setelah dua bulan berjalan, Ucik menuturkan metode ini ternyata lebih bisa menjangkau para murid. Mereka yang tak punya radio dapat bergabung dengan teman-temannya membentuk kelompok kecil yang terdiri dari lima orang murid.
“Protokol kesehatannya tetap dijalani, mereka pakai masker, jaga jarak. Mereka juga suka kirim foto untuk memberi tahu kalau sudah siap di depan radio,” ujarnya.
Menurut Pengelola Radio Komunitas PPK Sragi, Sunarto, keterbatasan itu memunculkan ide memanfaatkan radio komunitas sebagai sarana belajar. Apalagi materi yang disampaikan lewat radio komunitas bisa disesuaikan dengan kebutuhan murid setempat.
Sunarto menyebut metode ini memang membutuhkan waktu dan persiapan untuk membiasakan para guru dengan metode siaran. “Saya bilang ke mereka kalau belajar lewat radio itu sangat beda dengan setiap hari bertemu murid di kelas. Kalau di radio harus berimajinasi,” ujarnya dikutip Anadolu Agency.
“Kalau awal-awal masih kagok ya dimaklumi. Yang penting dicoba, kami dari Radio Komunitas beri trik cara bersiaran. Kami siapkan script-nya mulai dari opening sampai closing,” ujarnya.
Ternyata cara belajar lewat radio ini mendapatkan respons baik dari orang tua murid. Sunarto pun berharap cara serupa dapat diterapkan pula oleh radio komunitas lain di Indonesia, khususnya di daerah yang punya keterbatasan akses internet untuk PJJ.
“Kalau menggunakan radio komunitas, kontennya juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan di wilayah masing-masing,” sebutnya. “Kami juga sangat terbuka kalau ada pihak lain yang ingin mengetahui teknisnya seperti apa, boleh hubungi kami.”
Sekolah Online Bak Sebuah Kemewahan
Para murid di SMPN 1 Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar) juga merasakan tidak meratanya akses internet untuk sekolah. Bagi mereka, memiliki gawai dengan akses internet yang memadai adalah sebuah kemewahan di saat pemerintah menerapkan kebijakan belajar dari rumah akibat pandemi Covid-19.
Widiriyani, salah seorang guru di SMPN 1 Palupuh, mengatakan cuma 60 persen muridnya yang memiliki ponsel sekelas Android untuk mengakses sekolah daring, sedangkan sisanya tidak memiliki akses sama sekali.
Proses belajar daring itu pun terbatas pada komunikasi melalui grup WA. Mereka tak mampu mengadakan pertemuan virtual melalui Zoom, Google Meet, atau fitur sejenis seperti yang dilakukan oleh sekolah-sekolah dengan fasilitas lebih memadai.
“Dari yang punya handphone Android pun, belum tentu semuanya bisa online dengan lancar,” kata Widiriyani dikutip Anadolu Agency.
“Ada yang tidak mampu memenuhi kebutuhan paket data bulanan, ada yang sinyal di rumahnya tidak bagus, ada juga yang satu handphone dipakai sekeluarga dan waktu siang dibawa orang tua bekerja,” lanjut dia.
Sebagian besar murid di SMPN 1 Palupuh merupakan anak-anak petani dengan penghasilan harian dari kelas ekonomi menengah ke bawah.
Sekolah memberikan subsidi pembelian paket data melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 20 ribu per bulan. Tapi jumlah itu jelasnya juga tak mencukupi kebutuhan belajar mereka.
Belum lagi lokasi rumah murid yang berada di kawasan perbukitan sehingga tidak terjangkau oleh sinyal internet. Ini juga menyulitkan guru dalam memantau proses belajar murid dari jauh.
Situasi tersebut membuat para guru kemudian memutuskan mendatangi murid secara berkala untuk memberi tugas sekolah sekaligus berkomunikasi.
“Tugas untuk mereka dikasih untuk satu minggu, terus minggu depannya guru akan datang lagi untuk ambil tugas dan mengantarkan tugas sekolah yang baru,” katanya.
Menurut Widiriyani, baru itu satu-satunya solusi yang mereka dapatkan agar hak anak untuk tetap belajar terpenuhi meski tidak mungkin seefektif belajar tatap muka di sekolah.
“Kami berusaha memaklumi kondisi daerah dan kondisi murid, jadi kami juga tidak mau menyulitkan mereka tapi di sisi lain mereka tetap harus belajar,” ungkapnya.
Kurikulum Darurat Sangat Dibutuhkan
Menurut Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Nanang Martono, kapasitas guru harus ditingkatkan agar bisa menjalankan pembelajaran baik secara online maupun offline.
Nanang menilai, ada kemungkinan juga membuka pembelajaran offline secara terbatas atau bergiliran sehingga tetap menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak.
Alternatif berikutnya guru dapat mendatangi murid untuk memberikan materi pelajaran. Ia menyebut, guru pun harus mempunyai bahan ajar, seperti modul dengan sistem belajar kejar paket.
“Sistem pembelajaran online ini memang ada beberapa kelemahan. Sistem ini membuat pendidikan tentang nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan lain-lain tidak bisa dilakukan,” katanya dikutip Anadolu Agency.
Selain itu, tingkat pemahaman murid tentu lebih rendah dibanding belajar langsung bertatap muka dengan guru.
Sementara diberitakan hidayatullah.com sebelumnya, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menilai kurikulum darurat atau adaptif sangat dibutuhkan untuk pembelajaran di tengah pandemi Covid-19. Retno terus mempertanyakan belum rampungnya pembuatan kurikulum darurat ini, padahal tahun ajaran baru pembelajaran udah dimulai pada bulan ini.
“Padahal kami juga udah menulis surat ke Kementerian, menulis surat juga ke Presiden agar segera dibuatkan penyederhanaan kurikulum, namun hingga 13 Juli 2020, mulainya tahun ajaran baru kurikulumnya juga tidak selesai, nah ini menjadi pangkal masalah,” kata Retno dalam diskusi pendidikan bertema “Kebijakan dan Tantangan Pendidikan di Masa Pandemi” yang digelar Forum Monitor, Jumat (17/07/2020).
Retno menegaskan kalau kurikulum darurat ini begitu dibutuhkan agar guru dan murid tidak terbebani. Dia menilai dalam kondisi darurat di tengah pandemi ini tidak mungkin tercapai target kurikulum normal dapat tercapai.
Selain itu, dalam kurikulum darurat, Retno juga meminta agar Kemendikbud memperhatikan proses pembelajaran bagi murid bidang IPA dan vokasi serta disabilitas yang membutuhkan laboratorium.
“Kurikulum juga harus akomodir SMA bidang IPA yang harus memakai laboratorium, termasuk disabilitas. Kalau SMK butuh ke bengkel. Mulai dijadwalkan materi esensial yang mana saja yang anak harus praktek,” jelasnya.*