Hidayatullah.com — Warga kota al-Atarib, sekitar 25 kilometer sebelah barat Aleppo, Suriah, terus menjelajahi puing-puing akibat gempa (06/02/2023). Mereka berusaha mengais harta benda dan apa saja yang mungkin masih tersisa. Hatinya getir sebab seolah ditinggalkan oleh dunia.
Kata mereka, selama berhari-hari, tidak ada bantuan internasional. Guna menyelamatkan para korban yang terus memohon bantuan, warga terpaksa menggali puing-puing secara manual dengan tangan.
Seperti dilakukan oleh Yazam Musa, 17. Ia menyusuri gedung apartemen berlantai empat tempat tinggalnya yang telah runtuh.
“Pada jam 5 pagi setelah gempa, kami membantu mengevakuasi semua orang, baik yang masih hidup atau sudah meninggal. Mereka yang meninggal, semoga Allah mengistirahatkan jiwanya. Dan mereka yang terluka, semoga Allah menyembuhkannya,” kata Musa kepada The New York Times (14/02/2023).
Banyak warga yang terus menyisir puing-puing bekas rumahnya sebagaimana Musa. Mereka berusaha mencari surat-surat, identitas, akta properti, foto, dan apapun yang mungkin dapat diselamatkan. Mereka berharap itu semua bisa merajut kembali kehidupan yang hancur.
Tak adanya bantuan dari luar juga diakui oleh petugas penyelamat. Itulah sebabnya tak banyak bisa dilakukan untuk membantu para korban.
“Kami merasa tidak berdaya, sungguh tidak berdaya,” kata Ali Ubaid, 28, anggota White Helmets, tim yang memimpin upaya penyelamatan di Suriah. Di dekatnya ada warga yang berdiri di atas puing-puing bangunan, sambil mengangkat poster yang mengkritik PBB.
“Kami tiba di gedung-gedung yang runtuh, dan ada orang-orang di dalamnya yang masih hidup. Kami dapat berbicara dengan mereka, tetapi tidak memiliki peralatan memadai untuk mengeluarkan mereka. Kami berpacu dengan waktu, sedangkan kami sebagian besar melakukan penyelamatan dengan tangan kosong,” tambah Ubaid.
Pada hari-hari pertama setelah gempa, tidak ada bantuan sama sekali dari luar. Warga seperti dibiarkan berjuang sendirian. Mereka bahu-membahu dengan tetangga untuk saling menyelamatkan, menyumbangkan bahan bakar dan kendaraan ke tim penyelamat lokal, dan mengubah masjid menjadi pusat bantuan.
Sebenarnya ada satu jalur yang bisa digunakan oleh PBB untuk mengirimkan bantuan, namun jalannya rusak berat. Baru pada hari Senin lalu (13/02/2023), PBB mengumumkan akan membuka dua jalur lagi dari Turki ke wilayah barat laut Suriah.
“Semuanya tidak hadir selama bencana. PBB dan semua kelompok bantuan internasional ‘berkontribusi’ pada penderitaan penduduk karena mereka tidak membantu,” lanjut Ubaid.
Kontrol Rezim
Akibat perang kurang lebih 12 tahun, wilayah Suriah terbagi ke dalam zona kontrol yang berbeda. Daerah sekitar al-Atarib berada di bawah kendali rezim Bashar al-Assad. Situasinya rumit sebab pemerintah membatasi bantuan internasional.
Rezim al-Assad juga membatasi aliran bantuan ke tanah yang dikuasai oposisi. Di sisi lain, kaum perlawanan menolak bantuan yang datang dari pihak pemerintah, yang dianggap telah menyebabkan krisis kemanusiaan berkepanjangan.
Ali Ubaid mengisahkan, pada hari pertama pasca gempa, ketika tim penyelamat berjalan di al-Atarib, seorang pria lari tergopoh-gopoh. Ia menangis dan mengatakan bahwa keluarganya terjebak di bawah reruntuhan.
Ketika melihat bangunan empat lantai yang runtuh itu, Ubaid juga menangis. Dia sempat tidak yakin apakah tim penyelamat akan dapat menyelamatkan korban atau tidak. Alhamdulillah operasi berjalan sukses.
Di masa itu, banyak negara Barat dan Teluk yang berjanji untuk mengirimkan bantuan. Namun tidak terwujud.
“Kami berteriak dengan suara paling keras: Semua area ini membutuhkan peralatan penyelamatan!” kata Munir Mustafa, wakil kepala White Helmets.
Mustafa berbicara dari ruang operasi kelompok penyelamatan itu. Ada sebuah papan sketsa besar di mana mereka telah menulis nama kota yang terkena dampak dan jumlah personil yang dikirim. “Kami bahkan tidak bisa mencapai 60% dari tempat-tempat yang mesti dibantu,” katanya.
Pada hari ketiga setelah gempa, tim medis dan penyelamat beranggotakan 20 orang tiba dari Mesir, tetapi mereka tidak membawa peralatan. Juga ada empat orang dari Spanyol pada hari keempat, tetapi peralatannya juga kurang.
“Kami lebih membutuhkan peralatan daripada orang. Kami sudah memiliki orang!” kata Mustafa.
PBB baru mengirim konvoi bantuan pertama pada hari Kamis (09/02/2023). Itupun sebenarnya bantuan yang telah direncanakan sebelum gempa, isinya antara lain beberapa bahan untuk hunian pengungsi dan perlengkapan kebersihan.
Muhammad Umar, jurubicara oposisi di wilayah tersebut, mengatakan bahwa PBB ingin mengirim konvoi bantuan tidak melalui perbatasan dengan Turki tetapi dari daerah yang dikuasai oleh rezim Suriah. Menurutnya, itu langkah yang tidak tepat.
“PBB harus tahu bahwa secara umum kami menolak bantuan apapun yang datang dari wilayah rezim kriminal,” kata Umar dalam tanggapan tertulisnya kepada The New York Times.
“Orang-orang di sini tahu kenapa mereka terusir dari kampung halaman dan siapa yang mengebom rumah mereka, siapa yang menyebabkan semua ini hancur, apalagi juga ada gempa, yaitu rezim Suriah.”
Bangun Kembali
Di dalam kota al-Atarib, Amna Akush, 65, berdiri termangu bersama beberapa dari tujuh cucunya. Mereka menyaksikan pemindahan puing-puing bangunan tempat mereka dulu tinggal.
“Mereka (tim penyelamat) mengatakan tidak ada yang tertinggal di bawah,” katanya dengan suara lirih.
Akush ingat bahwa ada sekitar 20 orang yang tinggal di gedung itu. Mereka datang dari berbagai tempat yang dilanda perang, sehingga keluarganya belum mengenal mereka secara pribadi. Dia bertanya-tanya, apakah mereka semua benar-benar telah dikeluarkan—baik hidup atau mati—dari bawah reruntuhan?
Akush dan keluarganya kini sementara pindah ke sebuah lahan pertanian. Mereka berencana membangun hunian di tempat itu.
“Rumah-rumah bisa dibangun kembali, tetapi orang-orang yang hilang tidak akan kembali,” kata Akush.
Ketika laporan ini ditulis, lebih dari 1.200 jenazah pengungsi Suriah melintasi perbatasan dari Turki. Di kota al-Atarib telah disiapkan sebuah kuburan massal untuk warga yang meninggal di Turki, atau tewas di wilayah Suriah.
Tidak ada batu nisan, hanya ada balok-balok yang dicat dengan nama seseorang atau terkadang hanya nama kota tempat almarhum mengungsi. Seluruh keluarga dimakamkan bersama.
Tahir ibn Muhammad, 53, kehilangan seorang putri dan ibunya. Ia berdiri di ambang pintu sebuah bengkel di seberang gedung apartemennya yang telah runtuh. Gedung itu dulu dibangun oleh Islamic Relief, sebuah badan amal yang berbasis di Inggris.
“Banyak sekali rumah yang hancur, mereka tidak bisa menangani semuanya,” katanya sambil menunjuk relawan White Helmets. “Negara-negara lumpuh dalam menanggapi bencana seperti ini. Apalagi kami (yang cuma pengungsi)?”
Putra-putra Tahir mencoba memasuki lantai dua gedung itu, yang masih lumayan utuh. Beberapa saat kemudian, mereka keluar sambil menyeret rak yang penuh dengan piring, toples, zaitun, dan acar.
Beberapa saat setelah bangunan runtuh, Tahir juga sempat ke situ. Ia berusaha mencari-cari koper tempat menyimpan dokumen penting keluarga, termasuk ijazah sekolah anak-anaknya.
Tahir tidak terlalu berharap banyak dari bantuan komunitas internasional. Baginya, gotong-royong warga setempat sudah cukup menghibur diri.
“Cukup masyarakat ini bersatu, itu lebih penting daripada semua bantuan internasional,” ujarnya.* Abu Raiyan