Hidayatullah.com | SORE itu di lereng gunung Merapi, tepatnya di Dusun Pugeran, Kringjing, Dukun, Kabupaten Magelang, Jateng. Seorang wanita berjilbab panjang sedang dikerumuni puluhan orang di sebuah mushala. Hampir semuanya mbah-mbah (nenek-nenek) yang sudah lanjut usia.
Jangan keliru, itu bukan kegiatan pengobatan atau bakti sosial. Wanita bernama Dosmauli Simbolon (37 tahun) itu tengah menyimak satu per satu mbah membaca Iqro’.
Bacaan mereka masih terbata-bata, namun Uli –sapaan akrabnya—begitu sabar menyimaknya. Jika ada yang keliru, maka dibenarkan satu demi satu.
Berdasar pengalaman Uli, mengajar mengaji nenek-nenek memang membutuhkan semangat dan kesabaran yang tinggi. Mereka berbeda dengan anak-anak kecil yang gampang mengingat.
“Ada seorang mbah yang dari awal belajar hingga sekarang masih Iqro’ jilid 1 terus. Tapi semangat belajarnya luar biasa. Dia selalu hadir terus paling pertama,” cerita Uli.
Hal itulah yang membuat dia malu kalau tidak semangat mengajar. Sebagai mantan penginjil, Uli pun terus belajar tentang agama Islam.
Kepada Suara Hidayatullah, wanita berdarah Batak ini bercerita saat pertama kali menekuni dakwah. Awalnya, sebelum mendapatkan hidayah, Uli adalah misionaris yang sangat giat di kawasan lereng Merapi dan Merbabu. Sudah ada beberapa keluarga yang berhasil dimurtadkan.
“Alhamdulillah, keluarga yang sempat saya murtadkan, mereka kembali lagi memeluk Islam,” ucapnya penuh syukur.
Sebagai mantan penginjil, Uli mengaku punya banyak pengalaman yang bisa diterapkan dalam berdakwah sekarang. Contohnya adalah pendekatan kepada masyarakat.
Hal pertama yang biasa dilakukan adalah pendekatan kekeluargaan agar bisa meluluhkan hati calon jemaat. Itu pula yang dilakukan ketika mendekati para lansia.
“Jika hati mereka sudah luluh, hingga tahap mereka menganggap kita seperti keluarganya, di situlah nilai-nilai Islam kita ajarkan,” ujar Ketua Ukhuwah Mualaf Indonesia (UMI) itu. “Awalnya mereka enggan karena merasa malu. Ketika didekati dengan kekeluargaan, kami datangi satu per satu. Alhasil, mbah-mbah itu datang berbondong-bondong untuk belajar mengaji,” tambahnya.
Dakwahnya memang bisa dibilang sederhana, tetapi berusaha dilaksanakan secara istiqamah. Setiap hari dari Senin hingga Ahad Uli dan kawan-kawan mengajar mengaji lebih dari 13 tempat yang berbeda dan berjauhan. Hingga saat ini ada lebih dari 800 orang jamaahnya.
“Saya menjadi mualaf baru sekitar dua tahun. Keilmuan tentang Islam yang saya punya masih sangat minim. Yang bisa saya lakukan saat ini ya mengajar mengaji. Mungkin ini dianggap sepele karena hanya mengajar mengaji. Tapi kalau bukan kita, siapa lagi yang peduli mbah-mbah itu?” imbuh wanita yang mengaku bisa membaca al-Qur’an setelah tiga bulan masuk Islam itu.
Menjemput Hidayah
Dosmauli Simbolon lahir di Pulau Samosir, Danau Toba, Sumatera Utara pada 21 Juni 1981. Keluarga besarnya merupakan pemeluk Katolik yang taat.
Sejak kecil Uli sudah aktif di gereja dan kerap mengikuti kegiatan Anak Sekolah Minggu Katolik (Asmika). Hidup di lingkungan seperti itu membuatnya beranggapan bahwa agama hanya ada dua, yakni Kristen dan Katolik. Ia tak tahu ada agama lain, termasuk Islam.
Ketika sekolah di bangku SMA di Medan, barulah ia tahu ada orang Islam. Namun saat itu yang muncul adalah rasa benci. Bahkan Uli mengaku jijik ketika melihat perempuan berjilbab.
“Apalagi yang jilbab besar. Dalam hati saya, wah ada setan lewat,” kenangnya.
Lulus SMA, Uli kemudian merantau ke Kalimantan. Ketika itu ia tetap aktif di gereja. Namun orangtuanya sering sekali telepon dan memintanya kembali, karena khawatir ia dinikahi oleh orang Islam.
Akhirnya Uli pindah dari Kalimantan, namun tujuannya adalah bekerja di Batam. Beberapa saat kemudian pindah ke Karawang. Di sinilah ia menikah dengan seorang pria Kristen. Uli pun pindah agama dari Katolik ke Kristen.
“Keluarga tetap setuju karena masih ada persamaan, masih bisa makan daging babi,” terangnya.
Namun pernikahan itu hanya berumur 9 bulan. Sang suami meninggal ketika Uli sedang hamil 6 bulan. Situasi yang sungguh memukul perasaan. Uli akhirnya melahirkan sang anak di tempat keluarganya di Banten.
Keluarganya kemudian memberi uang Rp 20 juta untuk modal menjadi rentenir. Namun aktivitas itu membuatnya tak nyaman, karena dalam ajaran Kristen pun dilarang. Uli kemudian pindah bersama anaknya ke Karawang dan fokus mengabdi di gereja.
Oleh pihak gereja, Uli sering dikirim ke penjara di Bekasi untuk melakukan pembinaan. Beberapa waktu kemudian, ia pindah tugas ke Sleman, Yogyakarta.
Saat itulah Uli gencar menyebarkan agamanya di kawasan lereng Merapi dan Merbabu setiap hari Ahad. Hal itu dilakukan seharian penuh, keluar-masuk desa-desa, selama sekitar tiga tahun.
Hingga suatu saat, Uli menonton sebuah film di televisi. Film itu bercerita tentang sebuah keluarga pemulung yang hidup susah. Mereka sering dilecehkan orang sekitar, namun terus bersabar.
Keluarga itu rajin shalat berjamaah dan terlihat damai. Di akhir cerita, kehidupan mereka semakin membaik, sedangkan orang-orang yang melecehkan pun mendapat balasan.
“Sehabis menonton itu, tiba-tiba muncul di benak saya, berarti Tuhannya orang Islam itu tidak tidur ya? Mereka yang berbuat baik ada ganjarannya, dan yang berbuat buruk juga ada ganjarannya,” kisahnya.
Hatinya mulai terbuka dengan Islam dan merasa penasaran. Sedangkan ketika itu, dirinya tengah dihinggapi keresahan dan kekosongan hati. Singkat cerita, Uli akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kini Uli merasa bersyukur karena sudah merasakan indah dan damainya berislam. Allah SWT juga telah menganugerahi sosok suami yang kerap menemaninya berdakwah. Sementara anaknya sekarang mondok di sebuah pesantren dan telah menghafal tiga juz al-Qur’an.
Kebahagiaan semakin lengkap ketika beberapa bulan lalu ada seseorang yang mengumrahkan dirinya ke Tanah Suci. Dan hingga saat ini ia tidak tahu siapa gerangan orang itu.
“Dulu saya sangat aktif menjadi misionaris. Setelah masuk Islam, maka saya berjanji pada diri saya sendiri untuk lebih aktif lagi berdakwah,” pungkasnya.*/Sirajuddin Muslim, Majalah Suara Hidayatullah), (klik) untuk Langganan versi digital