Hidayatullah.com—Ribuan orang sudah memadati masjid Nabawi, Madinah, 30 menit menjelang dzhuhur tiba. Sebagian yang datang langsung melakukan shalat sunnah dua rakaat, sebagian lain sibuk berdoa atau membaca Al-Quran.
Sementara itu, beberapa orang petugas masjid Nabawi mulai mempersiapkan diri. Petugas di masjid ini biasanya menggunakan seragam resmi berwarna biru. Seorang petugas berkebangsaan Bangladesh sibuk menggunakan penyedot membersihkan debu-debu karpet, sebagian sibuk membersihkan lantai dan mengisi tong-tong air zam-zam yang berderet di areal masjid.
Seorang petugas, menyapa ramah, “Assalamu’alaikum, haji, “ ujarnya.
Jangan keliru, dia bukan orang Arab atau orang Bangladesh. Ia adalah salah seorang petugas masjid asal Indonesia, asli Sukabumi.
Sebut saja namanya Ridwan (30), ia adalah salah petugas yang bekerja membersihkan dan merapikan mushaf Al-Quran di dekat pintu 9, King Ibnu Sa’ud. Pria asal Jawa Barat ini biasanya akan menyapa ramah setiap ada orang asal Indonesia yang melintas atau lewat di depannya.
“Ya, sekalian hiburan, kangen dengan orang Indo,“ ujarnya kepada hidayatullah.com.
Ridwan bukan satu-satunya warga Indonesia yang menjadi pelayan di masjid tempat Rasulullah (khadimul haramain) ini. Ada puluhan orang asal Indonesia yang “mengabdikan” waktu dan tenaganya di salah satu masjid haram ini.
Wajah mereka mudah dikenali. Umumnya, mereka bertugas merapikan mushaf-mushaf Al-Quran atau menjaga dan membersihkan toilet.
Karena Mulia
Tak ada angka pasti berapa banyak jumlah warga Indonesia menjadi “pelayan umat” di masjid yang sering dikunjungi umat Islam dari seluruh penjuru dunia ini.
Menurut Akram (42), jumlahnya diperkirakan mencapai 40 orang. Menurut pria asal Sumbawa ini, umumnya orang Indonesia itu menjadi pelayan di kantor. Bagi yang melek baca tulis Al-Quran, lebih beruntung, ia bisa ditugaskan sebagai penjaga “Maktabah Masjid Nabawy” (perpustakaan Masjid Nabawi), seperti yang dialami Muhtar (32).
Umumnya pemuda asal Indonesia ini datang karena kondisi ekonomi. Hanya saja, orang-orang seperti Ridwan, Akram, dan Muhtar, mereka mengaku lebih beruntung dibanding teman-temannya yang lain, di saat mereka sama-sama berangkat ke Arab Saudi.
“Ya Alhamdulillah, saya lebih beruntung bisa ditempatkan di masjid suci di mana orang hanya sering mendengar namanya,” aku Akram.
Menurutnya, sebagian besar kawan-kawannya bekerja di luar masjid. Ada yang sebagai supir, ada yang jadi pelayan toko, atau karyawan hotel.
Hanya saja, jangan tanya gaji kepada mereka. Rata-rata mengaku menerima gaji yang tak sebanding dibandingkan dengan kedatangan mereka yang sudah menyeberangi laut dan gugusan pulau-pulau. Umumnya gaji mereka berkisar tak jauh dari SR 500 (sekitar Rp. 1.500.000,-). Sebagian bahkan ada yang dibawah angka itu.
“Untuk orang seperti saya yang sudah punya anak dua, ya sangat tidak cukup, belum dipotong sewa kos,“ ujar Akram.
Hanya saja, meski,mereka mengaku menerima gaji yang tak terlalu besar, ia merasakan banyak keistimewaan yang tak dimiliki banyak orang di Indonesia.
Muhtar, misalnya, meski dia tak mendapat gaji besar, ia gembira sudah bisa haji dan umrah beberapa kali. “Ya senangnya, karena saya bisa haji dan umrah berkali-kali. Jika saya di Indonesia, mana mungkin bisa, “ ujarnya.
“Saya, bahkan tiap hari shalat dan berdoa di Raudhah dan makam Rasulullah,” ujar Ridwan. “Kalau tak ada itu semua, mungkin saya sudah tak kerasan di tempat ini,“ tambah Akram.
Negeri Sendiri
Ridwan, Akram, dan Muhtar, mengaku, kehadirannya sebagai “khadimul haramain” ini diakui sebagai perjalanan yang akan diceritakan ke keluarga dan anak cucu-nya kelak.
“Enak gak enak di negeri orang, tetap enak di Indo mas,“ aku Muhtar yang akan pulang tahun ini.
Senada dengan Muhtar, Ridwan juga mengaku tak akan menghabiskan masa kontraknya yang akan habis setahun ke depan. Baginya, masa dua tahun di negeri orang sudah cukup sebagai pengalaman berharga.
“Ya setidaknya, hampir dua tahun di tempat ini, saya bisa lebih khusuk beribadah dan belajar agama. Mudah-mudahan bisa menjadi bekal nanti di akhirat dan saat pulang ke rumah,“ ujar Akram.
Masjid Nabawi di Madinah, adalah salah satu tempat yang menjadi sasaran kunjungan umat Islam di seluruh dunia setelah Masjidil Haram, Mekah Al Mukarramah.
Sebagaimana diketahui, Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang paling utama untuk dikunjungi umat Islam setelah Masjidil Haram di Mekah. Masjid Nabawi didirikan tahun 622 M (tahun pertama hijriah), setelah Nabi Saw hijrah dari Mekah ke Madinah.
Setelah beberapa bulan tinggal di sana, Nabi Saw mendirikan masjid di atas tanah tersebut. Rasulullah Saw yang meletakkan batu pertama pendirian masjid, diikuti oleh sahabat-sahabat Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Kemudian pengerjaan masjid dilakukan dengan gotong royong sampai selesai. Pagarnya dari batu tanah, tiang-tiangnya dari batang kurma, sedangkan atapnya pelepah daun kurma.
Dalam perkembangannya, Masjid Nabawi mengalami beberapa kali perombakan. Perubahan pertama adalah membangun mihrab setelah memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram di Mekah tahun 2 H setelah Rasulullah Saw menerima perintah memindahkan arah kiblat. Setelah itu dilakukan beberapa kali pembesaran masjid untuk dapat menampung jamaah yang semakin bertambah besar.
Hal yang menarik dan paling banyak menjadi sasaran jamaah jika datang ke Masjid Nabawi adalah di area makam Nabi dan Raudhah. Tempat ini ditandai tiang-tiang putih dan letaknya adalah antara rumah Nabi Saw (sekarang makam Rasulullah Saw) sampai mimbar.
Raudhah adalah tempat yang paling makbul untuk berdoa, seperti sabda Rasulullah Saw, “Antara rumahku dengan mimbarku adalah Raudhah di antara taman-taman surge.”
Banyak hadits Nabi Saw yang menguraikan keutamaan Masjid Nabawi serta ganjaran shalat di masjid ini. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ahmad Ibnu Huzaimah dan Hakim yang berbunyi, “Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama 1.000 kali dibanding shalat di masjid lainnya.“
Menurut penanggungjawab dua masjid suci Syeikh Sholeh Al Husain, lebih dari 4000 orang bertugas di Masjid Nabawi. Mereka adalah tenaga-tenaga yang secara marathon dikerahkan siang-malam untuk “berhidmad” melayani umat dari seluruh penjuru dunia. [cholis akbar/hidayatullah.com]
foto: hidayatullah.com