Hidayatullah.com–Sebelumnya saya menyampaikan Alhamdulillah dan ucapan terima kasih tak terhingga kepada sahabat-sahabat di Indonesia –khususnya pembaca media ini—yang telah memberikan doa dan support atas pernikahan saya.
Saya sendiri begitu senang sekali dan tak lupa selalu bersukur kepada Allah swt atas berkat dan ijinNya lah saya akhirnya diberikan jodoh Muslimah asli dari Jalur Gaza.
Sebenarnya, sejak awal saya berangkat ke Gaza dengan niat mengawali pembangunan rumah sakit Indonesia donasi dari rakyat Indonesia untuk rakyat Palestina khususnya dijalur Gaza dan dengan kondisi jalur Gaza yang tidak menentu, sebab sewaktu-waktu Gaza dibom oleh Zionis yang berakibat pada tidak tahu berapa lama menyelesaikan pembangunan rumah sakit ini dan tentunya tidak tahu sampai kapan saya akan kembali ke Indonesia. Intinya, kepada ibunda dan keluarga di kampung halaman, saya sudah mengabari bahwa saya berangkat dengan motto “ Pulang ke Indonesia tinggal nama atau pulang ke Indonesia bersama istri untuk dakwah” karena itu saya cukup paham akan resiko berat ini.
Sebelum menikah, pada setiap shalat, saya senantiasa berdoa pada Allah untuk bisa dijodohkan dengan wanita yang ber-akhlakul karimah, sholehah, hafidzah (hapal al-Quran) dan memahami akan perjuangan saya dan keberadaan saya di Gaza. Saya juga berdoa agar diberi seorang wanita yang memahami perjuangan saya merealisasikan program pembangunan rumah sakit Indonesia dan juga membantu program-program lain untuk rakyat Palestina khususnya di Jalur Gaza.
Adalah hal unik seorang asing menikahi gadis Gaza seperti saya. Dalam sejarah, sejak 50 tahun yang lalu, belum pernah ada orang asing yang menikah dengan gadis Gaza. Selain akan dianggap aneh, banyak orangtua di wilayah jajahan Zionis-Israel ini selalu khawatir jika para anak gadis mereka dinikahi warga asing akan meninggalkan keluarganya dan tak akan kembali lagi ke tanah Gaza.
Bukan apa-apa, warga Gaza sendiri sedang membutuhkan banyak generasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang dirampas oleh Zionis-Israel. Dari awal saya sudah menduga bahwa pasti akan muncul pandangan seperti ini. Tapi Alhamdulillah banyak teman-teman di sini yang pasang badan bahkan memberikan garansi untuk meyakinkan kepada pihak keluarga bahwa saya (Abdillah) serius ingin menikah dengan Muslimah Gaza. Alhamdulillah Allah memudahkan segalanya. Yang paling utama adalah niat dan tanggung jawab.
Karena itulah tidak mudah menikah dengan Muslimah Jalur Gaza. Alhamdulillah, pada awal ta’arruf saya selalu tekankan kepada calon istri (sebelum menikah) bahwa untuk saat ini Insyallah saya akan bermukim di Gaza. Akan tetapi ke depannya saya hanya mengatakan, hanya Allah yang tahu. Rupanya calon istriku ketika itu paham.
Awalnya saya tak pernah punya pikiran apa-apa. Bahkan tak pernah menduga untuk menikahi muslimah Gaza. Maklum, saya adalah seorang pemuda yang tak memiliki kelebihan apa-apa. Lahir dari keluarga yang cukup jauh, di tempat paling timur Indonesia, teptnya di desa Towara Halmahera Utara, Maluku Utara dan dari keluarga biasa-biasa saja.
Kepada calon istri (sebelum menikah), saya juga menyampaikan bahwa saya tak memiliki kelebihan apa-apa, saya datang jauh-jauh dari Indonesia juga bukan untuk uang. Alhamdulillah, beliau menjawab dengan sangat menyejukkan, “Hidup di dunia hanya sementara dan semua yang kita banggakan di dunia tidak akan kita bawa. Tetapi di akhirat adalah tempat yang kekal, jadi kami tidak melihat harta atau jabatan, kami hanya mengedepankan akhlak dan budi pekerti yang baik.”
Bahkan orangtua istri mengatakan,”Kami tidak memandang dari suku mana dari negeri mana akan tetapi yang paling penting adalah beragama Islam, taat beribadah, berkahlaq baik, bertanggung jawab, apalagi pemuda Indonesia ya Isnyallah kami terima bahkan kami berterima kasih karena ada seorang pemuda yang rela meninggalkan orangtua, kelurga di kampung halaman jauh-jauh ke Gaza hanya demi agama Islam dan al-Aqsa juga Palestina. Sungguh tak tahan air mataku kala itu. Seorang pria seperti saya bisa berlinang airmata saat mendengar kata-kata seperti itu.
Rupanya Allah berkehendak lain. Allah justru memberika saya lebih dari yang saya butuhkan. Saya diberi seorang istri, menurut istilah orang Gaza disebut dengan ‘dinakh wa ajmal’, yaitu cantik dan beragama. Beliau juga siap menemani saya untuk berjuang merealisasikan semua program kemanuaiaan ini.
Palestina-Indonesia
Meski orang asing di Jalur Gaza, saya merasa tidak terlalu sulit. Komunikasi yang kami lakukan sehari-hari dengan menggunakan bahasa Arab, bahasa Inggris dan sedikit bahasa Yahudi (Ibrani) yang masih dalam proses belajar. Alhamdulillah, istri bisa sedikit bahasa Inggris.
Setelah menikah ini, masih belum terfikir, apakah menetap di Jalur Gaza dengan resiko yang ada, atau akan ke Indonesia bersama istri. Tentu saja bukan untuk rihlah (liburan) atau berbulan madu seperti layaknya banyak pengantin baru di Indonesia. Namun kami bersama istri ke Indonesia akan berkeliling untuk berdakwah, berbagi pengalaman tentang kondisi Jalur Gaza yang tentunya akan bisa diceritakan langsung oleh istri saya dan juga berkampanye tentang kondisi Masjidil Aqsa dan Palestina secara umum.
Saya bahkan sudah mengatakan kepada istri saya jika InsyaAllah dengan ijin Allah kami dikarunia banyak anak, (15 anak, misalnya) maka sebagian akan kami hantarkan ke Indonesia untuk menuntut ilmu dan dakwah dan sebagian tetap berada di Gaza-Palestina untuk membela tanah Palestina.
Oh ya, ada sedikit cerita dari istri saya. Dulu, awal mula kami ta’aruf, malam harinya ia bermimpi bahwa ada burung merpati warna putih menghampiri dirinya. Seketika itu istriku yakin bahwa merpati putih itu adalah saya.
Saya berdoa, agak pernikahan kami ini ikut menjalin hubungan –bukan hanya persaudaraan akan tetapi lebih dari itu yaitu hubungan darah antara rakyat Palestina dengan Muslimin Indonesia–, bahkan kata-kata seperti ini sering dilontarkan istri dan kedua orangtuanya yang diamini oleh semua keluarga besar al hirtsani. Berkali-kali saya katakan kepada keluarga al hirtsani bahwa saya sangat bahagia dan senang bisa mendapat kepercayaan untuk meminang anak mereka. Sebaliknya jawaban yang saya dapatkan adalah, “Tidak wahai Abdillah justru kami yang lebih bersyukur atas limpahan rahmatNya sehingga dalam keluarga kami ada pemuda Muslim Indonesia yang datang ke Gaza semata-mata karena Allah ta’ala.”
Sungguh tak ada hal yang patut ingin saya sampaikan, kecuali memohon doa dan dukungan pada pembaca media ini agar pembangunan rumah sakit Indonesia di Jalur Gaza bisa berjalan dengan lancar, tentunya atas ijin Allah swt. Mulai saat ini, apapun programnya dan dari manapun LSM-nya saya InsyaAllah siap membantu tanpa meminta imbalan jika itu dikhususkan untuk perjuangan terhadap rakyat Palestina, khusuanya di Jalur Gaza. Karena ini juga merupakan salah satu kewajiban saya sebagai salah satu keluarga baru dari darah Palestina khususnya di Jalur Gaza. Wallahu a’lam.
Salam dari saya
Abdillah Onim
Ketua MER-C-Indonesia, Cabang Gaza-Palestina